Sadar Level


Abdullah bin Ubay bin Salul meninggal dunia. Anaknya, Abdullah, meminta jubah Kanjeng Nabi untuk kain kafan ayahnya. Dan permintaan itu dipenuhi. Setelah dimandikan dan dikafani, Abdullah meminta Kanjeng Nabi untuk shalat jenazah bagi almarhum ayahnya. Permintaan kembali dipenuhi. Saat Kanjeng Nabi hendak berdoa untuk jenazah Abdullah bin Ubay bin Salul, turun At-Taubah 84 melalui malaikat Jibril, yang melarang Kanjeng Nabi mendoakan jenazah tsb. Ayat itu adalah pemberitahuan Allah SWT bahwa almarhum adalah bagian dari orang-orang munafik, dan melarang Kanjeng Nabi untuk shalat jenazah untuknya.
Diriwayatkan bahwa Kanjeng Nabi dibisiki oleh malaikat Jibril (tentu saja atas perintah Allah) beberapa nama yang termasuk orang munafik, yang terlarang bagi Kanjeng Nabi untuk shalat atas jenazahnya. Nama-nama ini hanya disampaikan Kanjeng Nabi kepada kalangan terbatas. Tercatat hanya sahabat Huzaifah yang mengetahuinya. Bahkan ketika Umar bin Khaththab menanyakan hal ini kepada Huzaifah, ybs merahasiakannya. Apa alasannya? Hanya Allah dan RasulNya yang paling mengetahuinya. Sejak saat itu, setiap kali ada jenazah kaum muslimin, Umar selalu mengintip gerak Huzaifah. Kalau Huzaifah tidak shalat atas jenazah itu, Umar mengikutinya. Demikian juga sebaliknya. Di luar itu, tidak ada sahabat lain yang mengetahui, sehingga shalat jenazah atas kaum muslimin yang bersyahadat, shalat, puasa, zakat dan haji, tetap dilaksanakan sebagai fardhu kifayah, sekalipun banyak ayat menyebutkan berbagai ciri dan tanda orang munafik (dan kafir).
Saat ini (saya tulis artikel ini ketika ramai pilgub DKI 2017), beberapa mesjid di Jakarta mengeluarkan sebuah aturan yang seolah mengambil otoritas Allah dan Kanjeng Nabi dalam memberi cap, seseorang termasuk kaum muslimin, munafik atau kafir. Mereka yang diberi cap munafik (atau kafir) tidak diperkenankan diurus jenazahnya, termasuk dishalatkan di mesjid tersebut. Bahkan ada himbauan dari sebuah organisasi keagamaan, yang tegas-tegas melarang mengurus jenazah yang diduga munafik karena memilih calon gubernur non muslim.
Dahulu, Kanjeng Nabi butuh bisikan Allah melalui malaikat Jibril untuk memastikan seseorang itu unafik atau kafir. Kini, mulai ada orang atau lembaga keagamaan mengambil alih otoritas itu, berdasarkan tafsir mereka sendiri. Kehati-hatian Kanjeng Nabi, sehingga hanya kalangan tertentu saja yang dapat 'bocoran' nama-nama orang yang bisa dipastikan munafik atau kafir, luput dari perhatian. Bahkan sahabat Huzaifah, salah seorang yang mendapatkan 'bocorannya' langsung dari Kanjeng Nabi, merahasiakannya. Beliau tidak menyebarkannya kepada orang-orang terdekatnya, misalnya dengan mengatakan : 'Ssssst. Ini rahasia ye. Cuma ane ceritain sama ente aje ...'
Sahabat Umar, pun menjaga kerahasiaan dari sahabat Huzaifah, sehingga beliau hanya memperhatikan gerak Huzaifah ketika ada orang meninggal di zaman itu. Kalau Huzaifah shalat jenazah, Umar mengikutinya. Kalau Huzaifah tidak shalat jenazah, Umar pun mengikutinya. Tanpa harus koar-koar : 'Hei, jenazah ini termasuk kaum munafik. Huzaifah tidak shalat jenazah atasnya. Yuk ramai-ramai tidak shalat jenazah!'
Jauh setelah masa itu, Buya Hamka diminta shalat jenazah untuk almarhum Bung Karno. Sebagian pihak mencegah Buya Hamka dengan alasan Bung Karno itu munafik dan Allah telah melarang Rasul menshalati jenazah orang munafik (QS al-Taubah:84). Buya Hamka menjawab kalem, “Rasulullah diberitahu sesiapa yang munafik itu oleh Allah, lha saya gak terima wahyu dari Allah apakah Bung Karno ini benar munafik atau bukan.” Maka Buya Hamka pun shalat di belakang jenazah Presiden pertama dan Proklamator Bangsa Indonesia. Padahal, banyak orang tahu, Bung Karno pernah memenjarakan Buya Hamka karena perbedaan pandangan politik (dan keagamaan).
Hidup adalah pilihan, dan sepertinya saya harus memilih. Level saya jauh dari Kanjeng Nabi, sehingga tidak pantas bagi saya mengambil otoritas seperti beliau. Memberi cap seseorang itu munafik atau kafir, bukan wewenang saya. Wong kemusliman saya saja banyak dipertanyakan.
Saya juga masih jauh dari level sahabat Huzaifah, yang dapat bocoran 'wahyu' Allah dari Kanjeng Nabi. Jempol saya terkadang gatal menyebar berita, seringkali tanpa klarifikasi. Apalagi dari salah satu Khulafaur-Rasyidin, Umar bin Khaththab. Keduanya tahu, tapi memilih merahasiakan. Jauh dah.
So, bagaimana kalau ada jenazah yang patut diduga sebagai orang munafik, atau kafir? Saya memilih untuk menjalankan fardhu kifayah saya atas jenazah itu. Memandikan, mengafani, menshalatkan dan memakamkan, dalam porsi yang saya mampu. Kanjeng Nabi yang tahu persis bahwa jubahnya takkan bisa melindungi jenazah orang munafik, toh memberikan jubahnya untuk Abdullah bin Ubay. Bahkan kalau tidak dicegah malaikat Jibril, Kanjeng Nabi pun berkenan mendoakan sang petinggi kaum munafik itu. Saya? Nggak bakal ada bisikan malaikat. Kalau pun ada sinyal itu, saya tidak akan bercerita. Tapi yang pasti, saya akan berdoa untuknya, sesuai kemampuan saya. Sesuai kewajiban saya juga.
Saya memilih mengikuti Buya Hamka. Kesempatan terakhir berbuat baik kepada jenazah (muslim) adalah menunaikan fardhu kifayah atasnya. Dan bila kesempatan itu datang, saya akan melaksanakannya. Lagi. dan Lagi ...

Comments