Idulfitri di Indonesia, agaknya sudah identik dengan saling mengucapkan permohonan maaf dan memaafkan. Entah sejak kapan hal itu jadi tradisi, yang pasti untuk mendukung kegiatan saling memaafkan itu, ada juga budaya halal bi halal, yang konon merupakan kosa kata yang di negeri berbahasa Arab pun tidak dijumpai. Sebegitu mudahnyakah meminta dan memberi maaf?
Saya kok khawatir, meminta dan memberi maaf di Idulfitri sekarang ini, hanya sekadar basa-basi pemanis ucapan. Mirip ucapan salam yang berulang-ulang diucapkan oleh orang-orang yang berbeda, dalam sebuah pertemuan di waktu yang sama. Lama-lama bisa kehilangan esensi.
Saya membuka-buka kembali petunjuk syariat tentang meminta maaf, dan sesungguhnya memang tak mudah. Agar permintaan maaf menjadi benar, seseorang harus menyadari bahwa apa yang telah dilakukannya itu memang salah. Dia kemudian harus berjanji kepada dirinya sendiri dan orang lain, untuk tidak akan mengulanginya lagi. Ketika meminta maaf kepada orang tertentu, dia juga perlu menjelaskan apa kesalahannya secara spesifik.
Bukan itu saja. Kalau ada barang dan atau uang yang diambilnya, maka si peminta maaf itu harus mengembalikan, atau meminta diikhlaskan. Kalau ada dampak (tentu yang negatif) atau kerusakan yang ditimbulkan, maka dampak itu harus ditanggulanginya dahulu. Apalagi kalau sudah menyangkut fitnah. Dampak fitnahnya mesti diberesin dulu. Mungkin itu sebabnya, Allah menyebut fitnah lebih kejam dari pembunuhan. Dalam pembunuhan, seseorang dibunuh sekali saja, oleh satu orang. Dalam fitnah, karakter seseorang bisa dibunuh berkali-kali, oleh orang yang berbeda-beda.
Dalam bahasa CSR yang saya tekuni, di situlah letak tanggung jawab atas dampak. Nah, biasanya, - biasanya nih, yang susah itu bukan minta atau memberi maaf, tapi justru menanggulangi dampak dan konsekuensi dari permaafan itu. Bisa bikin malu sendiri. Belum lagi jika ada konsekuensi biaya. Tambah berat lagi …
Buat saya, itu pilihan. Bagaimana pun, persoalannya masih tetap bisa diselesaikan. Pertama, selesaikan itu di dunia. Mungkin berat karena harus menanggung malu di hadapan banyak orang, dan atau harus mengeluarkan sejumlah biaya. Kedua, menunggu penyelesaian di akhirat, dari Hakim yang Maha Adil, di mana tidak ada orang yang bisa mengelak dari kealpaanNya …
Comments
Post a Comment