Sekolah Bukan Segalanya

Pagi itu, datang ke kantor kami seorang ibu setengah baya bersama dengan seorang anak laki-laki yang masih belasan tahun. Kantor kami, Institut Kemandirian di Karawaci, memang terbuka bagi semua orang. Walau tak setiap hari, ada saja tamu yang datang, dengan atau tanpa konfirmasi.
Setelah menunggu agak lama karena kami sedang rapat, saya persilahkan sang ibu dan anaknya ke salah satu ruangan. He he. Walaupun saya pimpinan tertinggi di Institut Kemandirian waktu itu (2011), tapi saya tidak pernah punya ruang dan meja khusus. Saya bisa duduk dan bekerja di mana saja. Praktis.
Dari formulir yang diisi ketika awal datang, saya tahu bahwa beliau bermaksud meminta bantuan dana untuk membayar uang sekolah sang anak, yang masih bersekolah di sebuah SMA swasta di Tangerang. Cukup besar juga nilainya, karena sudah menunggak selama 5 bulan. 'Ancaman' pihak sekolah, jika tidak segera dilunasi, maka dengan terpaksa sang anak tidak bisa mendapatkan rapor semesteran. Akibat lanjutannya, mungkin sekali sang anak bakal diberhentikan dari sekolah.
Sebagai sebuah lembaga yang menjadi kepanjangan tangan dari sebuah lembaga amil zakat terbesar di tanah air, bisa jadi lembaga kami dianggap bisa membantu orang-orang yang memiliki kebutuhan dana seperti itu. Tapi hari itu, kami jelaskan bahwa Institut Kemandirian tidak memiliki alokasi dana yang diperuntukkan bagi kebutuhan tersebut. Saya melihat wajah sedih di wajah kedua tamu ini.
Saya mencoba untuk terus mengajak bicara, sekalipun ditanggapi dengan tidak serius. Saya tanyakan soal nilai rapor si anak. Jawabannya cukup mengejutkan, dan membuat saya kagum pada ibu dari anak ini. Nilai rapornya tidak terlalu baik. Nilai rata-rata di kelas satu SMA semester dua, hanya 6,37. Ada satu nilai merah pada pelajaran Matematika. Saya menarik napas dalam-dalam. Itu yang membuat saya kagum. Demi sekolah si anak yang prestasinya tidak terlalu baik, sang ibu rela datang ke beberapa tempat, untuk dapatkan bantuan. Saya jadi kangen ibu ...
Dalam pikiran saya, muncul rasa kasihan pada si anak. Kalau pun dibantu membayari uang sekolahnya sampai lulus SMA, akan sulit baginya bersaing di pasar kerja dengan nilai rapor seperti itu. Melanjutkan sekolah mungkin seperti menunda kekalahan. Akhirnya saya beranikan diri untuk memberi saran pada sang ibu.
'Boleh kasih saran bu?' tanya saya. Sang ibu mengangguk lemah. Harapannya sudah menipis.
Saya utarakan usulan saya : Karena tidak ada dana, si anak saya usulkan berhenti sekolah. Lewat Institut Kemandirian, saya akan membantu anak beliau untuk bisa menguasai satu keterampilan pilihan yang bisa digunakan sebagai bekal hidup.
Saya tidak bisa melupakan hari itu, dimana sang ibu berdiri dan menangis di hadapan saya sambil histeris.
'Apakah karena kami miskin hingga anak saya tidak bisa melanjutkan sekolahnya? Apakah sekolah sudah menjadi hak dari orang-orang berpunya?'
Saya mencoba menenangkan sang ibu. Sementara sang anak hanya terdiam melihat ibunya histeris.
'Bu. Apa yang saya tawarkan adalah penawaran yang realistis bagi kondisi anak ibu. Relakan dia, sementara berhenti sekolah dan belajar mencari uang secara mandiri. Akan datang masanya, anak ibu bisa melanjutkan sekolah, bahkan sampai ke bangku kuliah dan menjadi sarjana, dengan biaya yang ia dapat sendiri.'
Usai saya mengatakan itu, sang ibu dan anaknya pamit. Beliau berjanji, akan memikirkan saran saya. Saya berikan kepadanya satu kartu nama. 'Kapan pun ibu memutuskan, YA, kami akan segera melatih anak ini dengan keterampilan yang ia pilih' janji saya.
Cukup lama saya tidak dengar kabar dari sang ibu. Saya pikir, beliau sudah menolak usulan saya. Tapi dugaan saya keliru. Beberapa pekan setelah pertemuan itu, sang ibu kembali datang dengan anaknya. Beliau putuskan, menerima saran saya, walau dengan catatan, berat sekali mengambil keputusan itu.
Saya perintahkan kepada beberapa staf untuk memulai proses pelatihan teknisi ponsel, sesuai pilihan anaknya. Tidak ada perlakuan khusus. Semua proses harus dilalui, mulai dari pelatihan dasar mental sampai ke pelatihan teknis. Dugaan saya tidak meleset. Daya tangkapnya memang tidak terlalu baik, tetapi ia punya penangkalnya. Ketekunan.
Usai pelatihan, ia kami magangkan di konter ponsel milik salah satu mitra. Keterampilannya kian terasah. Jika di awal pelatihan ia hanya belajar stupid phone (sebutan kami untuk ponsel yang hanya berfungsi standar seperti bertelepon dan SMS), setelah 6 tahun ia sudah punya keterampilan tinggi untuk menangani smart phone seperti iPad, iPhone atau Samsung Galaxy.
Di tahun ke tiga setelah pelatihan, ia mencoba peruntungan baru dengan menyewa satu toko kecil untuk konter ponsel. Hasilnya lumayan bagus. Penghasilannya meningkat. Status ekonomi keluarganya membaik. Di tahun ke empat ia ikut program paket C, yang setara dengan level SMA. Kini ia memiliki ijazah setara SMA, atas biayanya sendiri. Kini ia sedang bersiap-siap untuk masuk bangku kuliah tahun depan. Sayang sekali sang ibu tidak bisa melihat ijazah anaknya. Beliau meninggal dunia tahun lalu. Semoga anaknya ini bisa menjadi anak yang saleh, yang selalu berdoa bagi kedua orang tuanya.
Aamiiiiiiin ...

Comments

Post a Comment