Qadha Shubuh


Minggu pagi, di Malang. Mungkin medio 2015 (tepatnya lupa, maklum sudah beranjak seket). Karena malamnya tidur agak larut, usai Shubuh saya tidur lagi. Jam 8 baru berasa segar, dan bersiap sarapan.
Ke luar kamar, mulai terasa kesibukan masing-masing. Satu lantai hotel sepertinya diisi oleh mayoritas anggota komunitas wirausaha terbesar di negeri ini, TDA (Tangan Di Atas). Sambil berjalan menuju lift, saya sempat melirik kiri-kanan melalui pintu kamar yang terbuka. Beberapa sahabat saya lihat sedang shalat. Hebatlah komunitas ini, anggotanya pada rajin Dhuha, pikir saya.
Saat jumpa beberapa kawan yang sedang sarapan di Cafetaria, saya pun memuji. ‘
Hebat
euy. Teman-teman sudah rajin shalat Dhuha,’ ujar saya.
Seorang teman menimpali. ‘Weits, nanti dulu bang. Tanya dulu ke mereka, itu shalat Dhuha atau qadha Shubuh?’
‘Heh, mana ada qadha shalat wajib. Cuma puasa yang boleh qadha!’ timpal yang lain.
‘Pernah bro. Sekali waktu, Kanjeng Nabi bersama Bilal pernah bangun kesiangan, sehingga shalat Shubuh terlewat. Ya beliau berdua qadha Shubuh,’ jawab saya.
‘Ooooo, kalo itu kan insidentil bang. Nggak bisa sering-sering,’ ujar yang lainnya, makin ramai.
‘Kalau yang disebut sunnah Nabi adalah sesuatu yang pernah dikatakan atau dilakukan oleh Rasulullah sepanjang hidup beliau, maka qadha Shubuh itu juga sunnah. Betul?’ tanya saya.
Beberapa teman menganggukkan kepala.
‘Lah kalau sunnah, kan makin sering makin baik?’ balas saya, dan kami pun tertawa bersama.

Comments