Menulis Itu Gampang (1)


 (Jika kita memang menganggapnya gampang, sekaligus menghasilkan uang dan membuat hati senang. Cara kerjanya sesuka hatidan kita bisa menentukan masa pensiun sendiri !)

Saya tidak pernah bercita-cita menjadi penulis.  Saya juga tidak pernah punya cita-cita jadi sarjana peternakan.  Juga tidak pernah membayangkan bisa beraktivitas di sebuah lembaga amil zakat terbesar di negeri ini. Sama sekali tidak terpikirkan, bagaimana seorang anak yang semula begitu tertutup kemudian bisa berkeliling Indonesia bahkan mancanegara dan berbicara di depan umum.  Nyatanya, semuanya terjadi dalam hidup saya.

Ketika masih kecil, cita-cita saya ingin menjadi dokter, sebuah cita-cita yang cukup tinggi buat anak betawi kampung seperti saya.  Saat ini, cita-cita itu sedikit tercapai, setidaknya karena saya tahu persis berbagai penyakit dan tata cara pengobatannya.  Bukan manusia, tetapi hewan.  Setidaknya saya bisa mengklaim diri lebih pintar dari dokter.  Para dokter selalu bertanya pada para pasiennya, sedangkan sarjana peternakan dan dokter hewan tidak pernah melakukan hal itu.

Sejak di bangku SD saya sudah suka membaca.  Walaupun buku anak-anak tidak sebanyak sekarang, saya cukup enjoy jika setiap pagi membaca Lembaran Bergambar POS KOTA.  Tokoh macam Doyok, Tadarus dan bang Nain, Jawara Bergelang Bahar masih cukup lekat dalam ingatan saya.

Saya memang mulai berlatih menulis sejak saya duduk di sekolah dasar.  Karya perdana saya, dimuat di majalah BOBO dalam rubrik Tak Disangka, ketika saya duduk di kelas III.  Selain jadi terkenal (bayangkan !  Anak-anak se-Indonesia pelanggan BOBO setidaknya membaca nama saya yang terpampang di bagian bawah tulisan, lengkap dengan alamat rumah), saya juga dapat honor.  Sejak itu, tulisan-tulisan saya kerap dimuat di beberapa majalah anak-anak kala itu, seperti Ananda, Tom-Tom, Kawanku  atau si Kuncung. Ketika itu, naskah boleh ditulis tangan.  Alhasil, saya harus punya tulisan tangan yang cukup bagus, sehingga Oom-oom redaktur tidak senewen membaca tulisan saya.

Menginjak bangku SMP, saya terus memelihara hobi saya, menulis dan membaca.  Saya sudah tidak puas lagi membaca koran.  Kebetulan, di seputar Mesjid Sunda Kelapa, dekat dengan lokasi SMP saya, setiap hari Jum’at ada mobil perpustakaan keliling.  Di Setiabudi, dekat tinggal saya, ada juga mobil sejenis yang mangkal setiap hari Selasa.  Saya menjadi pelanggan setia.  Dari hanya boleh meminjam paling banyak dua buku, saya bisa meminjam berapa pun buku yang saya inginkan.  Ketika SMA, saya memiliki 5 kartu perpustakaan yang kartu keanggotaannya penuh dengan catatan judul buku yang pernah saya pinjam.  Pengalaman jadi kutu buku di berbagai perpustakaan, membawa saya menjadi salah satu penerima Penghargaan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah sebagai anggota perpustakaan paling aktif.

Sejak di SMP pula, saya mulai menulis cerita-cerita fiksi berbau remaja, dan memasuki bangku SMA, saya juga menulis cerita fiksi untuk dewasa.  Tulisan-tulisan saya tersebar di beberapa majalah remaja dan dewasa seperti Hai, Dewi, Anita Cemerlang dan Amanah.  Tidak terlalu produktif memang, tetapi saya terus memelihara kebiasaan menulis. 

Ada beberapa perubahan mendasar ketika itu.  Para redaktur di semua media cetak sudah tidak mau lagi menerima tulisan yang ditulis tangan.  Jadi, mau nggak mau, harus diketik.  Padahal, orang tua belum bersedia membelikan mesin tik.  Jadi, harus putar otak.  Jawabannya sederhana.  Di kelurahan, banyak mesin tik yang lebih banyak 'nganggur' daripada dipakai.  Supaya tidak dianggap sebagai pengganggu, saya menggunakannya di luar jam kantor.  Bawa kertas sendiri, dan lama-kelamaan, bawa pita mesin tik sendiri.  Supaya nyaman, kadang-kadang suka bawa oleh-oleh satu dua bungkus rokok buat pak hansip.

Ujian Sipenmaru mengantar saya ke dunia yang sama sekali baru.  Peternakan.  Dan kesibukan kuliah dan praktikum nyaris menenggelamkan dua hal yang saya suka.  Membaca dan menulis fiksi.  Di sela padatnya aktivitas sebagai mahasiswa, sesekali saya menulis, tetapi lebih banyak tulisan non fiksi.  Tulisan saya muncul di beberapa majalah peternakan seperti Ayam Telur, Info Veteriner dan sebagainya.   Di kampus pun ada majalah.  Namanya Animal Husbandry.  Tapi maaf saja.  Saya tidak pernah mau menulis untuk media yang tidak bersedia membayar honor penulisnya.  He … he …

Comments