Jangan Berlebihan

Ada teman yang mewajibkan dirinya untuk shalat lima waktu berjama’ah di mesjid. Saya pikir itu baik-baik saja. Tapi kalau kebiasaan itu dipaksakannya kepada para karyawan, atau anggota tim yang ada di bawah kuasanya, saya pikir itu sudah berlebihan.
Ada teman yang merutinkan dirinya puasa sunnah (Senin - Kamis) atau puasa nabi Daud, dan atau shalat Dhuha. Tentu itu baik-baik saja. Tapi mewajibkan para karyawan atau orang-orang yang ada di bawah perintahnya untuk melakukan hal yang sama, bahkan jadi pengganti absensi masuk kantor, itu sungguh berlebihan.
Kewajiban shalat dan puasa, mengikat semua muslim. Tapi ‘pemaksaan’ untuk pendidikan hanya boleh dilakukan oleh orang tua kepada anaknya. Dari boss kepada karyawannya, ya nggak boleh lah. Di antara mereka hanya boleh memberi teladan. Allah tidak meminta kita bertanggung-jawab, jika ada orang di luar keluarga kita tidak shalat.
Allah memberikan keleluasaan waktu kepada umatnya dalam melaksanakan shalat. Yang saya ingat waktu ngaji kitab kuning di masa kecil dulu, - misalnya waktu Dzhuhur, dimulai dari saat gelincir matahari sampai bayang-bayang suatu benda sama dengan panjang bendanya sendiri. Jadi shalat Dzhuhur pada rentang waktu itu, masih disebut shalat pada waktunya. So, kalau ada sahabat muslim yang belum bisa selalu shalat di awal waktu, jangan buru-buru dikasih cap melalaikan panggilan Allah. Bisa jadi dia juga sedang melaksanakan perintah Allah yang lain, misalnya mencari nafkah untuk keluarganya.
Di suatu masa, Kanjeng Nabi pernah menegur Muadz bin Jabal karena shalatnya terlalu lama dalam shalat berjamaah. Memang lama banget sih, karena di rakaat pertama Muadz membaca surat Al-Baqarah , dan rakaat kedua membaca Al-Maidah. Full! Kebayang kaaaaaan?
Gegara durasi shalatnya kepanjangan, seorang sahabat melakukan mufaraqah (awalnya makmum, lalu berniat keluar dari jamaah) lalu melakukan shalat munfarid (sendirian). Muadz sempat menyebut sang sahabat itu munafik setelah shalat usai.
Ketika keduanya melaporkan kejadian itu kepada Kanjeng Nabi, justru Muadz yang ditegur. Jangan memosisikan agama atau ibadah menjadi problem atau menyulitkan umat. Begitu pesan beliau.
Ada kejadian lain lagi, tapi terjadi setelah Kanjeng Nabi wafat. Seorang sahabat datang ke mesjid untuk menunaikan shalat berjamaah dengan mengendarai unta. Saat iqamah dilantunkan, unta sahabat itu terlepas dari ikatannya. Sang sahabat pun mengejar untanya, sementara shalat jamaah tetap dilanjutkan.
Setelah unta itu berhasil ditangkap, sang sahabat bergegas kembali ke mesjid untuk melaksanakan shalat. Shalat berjamaah sudah berlangsung beberapa rakaat. Seusai shalat, beberapa jamaah menunjuk ke arah sang sahabat dan berujar, ‘Lihatlah orang tua itu. Dia begitu mencintai dunia. Dia lebih mendahulukan urusan dunia (mengurusi unta) daripada Takbiratul Ihram (Shalat)’.
‘Saya melakukan ini di zaman Nabi ya nggak apa-apa. Rasulullah tidak menyalahkan. waktu itu ada yang shalat, ada yang mengurus unta, ada yang di kebun kurma atau menggembala domba. Biasa saja. Justru sekarang saya dimarahi oleh tabi’in, yang tidak pernah berjumpa Kanjeng Nabi,’ ungkap sang sahabat dengan kesedihan mendalam.
Jadi pesan intinya, jangan berlebihan, termasuk juga dalam beragama ...

Comments

  1. Bang klo ttg kisah org buta yg meminta keringan utk sholat sendiri dirumah itu pernah dengar gx bang? Banyaknya krn dalil tersebut deh bang

    ReplyDelete
    Replies
    1. Karena saya bukan tuna netra, saya tidak menggunakan sandaran hadits itu

      Delete

Post a Comment