Siapapun yang hadir dalam prosesi pemakaman ayahanda kami di hari Senin, 9 Januari 2017 di komplek pemakaman masjid Hidayatullah, kawasan Jalan Sudirman Jakarta, bisa jadi akan merasa agak kebingungan. Tertulis pada kayu nisan nama yang cukup jelas, HM Sidik bin H Djunaidi, tetapi KH Nawawi Hakam, pemimpin pelaksanaan prosesi itu, berulang kali menyebut nama almarhum dengan nama H Udin bin H Djunaidi.
H Udin bin H Djunaidi dan HM Sidik bin H Djunaidi bukanlah dua nama dari dua orang yang berbeda. Dua nama itu, milik satu orang yang hari itu akan dimakamkan. Dan dua nama itu sekaligus mewakili sebuah proses metamorfosis kehidupan seorang anak manusia.
Udin, adalah sebuah nama kecil yang disebut ayah ketika berkenalan dengan seorang gadis di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan, yang kemudian menjadi ibu dari kami, 8 bersaudara. Dari situ, nama kecil itulah yang semakin dikenal orang, termasuk ketika ayah menikah dengan ibu. Nama itu kemudian disandingkan dengan sebuah profesi, satu hal yang menjadi kebiasaan saat itu. Jadilah nama Udin, Tukang Kambing lebih populer.
Nama dan julukan itu, menutup rapat nama indah yang diberikan oleh kedua orang tua ayah, M Sidik. Dan nama indah itu nyaris hanya digunakan untuk event-event atau dokumen resmi seperti KTP atau ijazah anak-anak. Selebihnya, nama kecil itu lah yang lebih populer. Bahkan dalam surat undangan resmi seperti acara pernikahan, ayah dengan tanpa dosa mencantumkan nama Udin, Tukang Kambing, sebagai pengundang. Awalnya, tentu saja nama kecil dan cantolan profesi itu membuat tidak nyaman kami, anak-anaknya. Bahkan nama itu cenderung menjadi bahan ledekan dari kawan-kawan dan membuat kami malu.
Tapi itu dulu. Kini bahan ledekan itu berubah jadi rasa bangga yang terkait dengan esprit de corps, kebangggaan profesi. Di saat begitu banyak orang menempuh cara-cara culas dalam mendapatkan penghasilan, ayah teguh dengan prinsip yang diyakininya. Profesi yang dianggap orang rendahan itu, justru menjadi kebanggaan karena dengan itulah cara ayah menghidupi keluarga, sampai semua anaknya, 8 orang anak, bisa mandiri.
Sekali waktu, ayah pernah marah besar kepada seorang akseptor KB (Keluarga Berencana) di zaman Orde Baru, karena memrospek ibu saya untuk ikut program. 'Saya bukan pegawai pemerintah. Saya tidak makan gaji dari negara. Insya Allah saya mampu membiayai semua anak saya. Saya lahir dari keluarga kecil. Tiga bersaudara. Orang tua meninggal sejak kecil, dan karena itu saya sudah merasakan betapa sepinya hidup dalam keluarga kecil. Jadi jangan bujuk istri saya untuk ikut program ...' Kira-kira, itu lah ucapan ayah saat itu, yang disampaikan dengan nada tinggi.
Bukan sekali dua, ayah berucap dengan nada tinggi. Itu memang karakter beliau, yang seringkali muncul di saat idealismenya diganggu sekalipun itu menyangkut hal yang kecil. Pernah beliau marah besar kepada ibu karena melihat di kamar mandi kami ada sebuah ember plastik yang masih baru. Menurut ibu, ember itu dibeli dengan cara kredit dari seorang pedagang keliling, mencicil beberapa rupiah per minggu sampai lunas. Pekan itu juga ayah menyerahkan sejumlah uang yang cukup untuk membayar lunas ember baru yang seharusnya bisa dicicil. Ayah memang mendidik kami menjauhi hutang. Sejak saat itu, ibu tak lagi berani melakukan hal yang sama.
Di akhir era tujuh puluhan, di saat masih sedikit sekali orang di kampung kami (kampung besar yang kini menjadi wilayah segitiga emas Jakarta) yang pergi haji, ayah, si tukang kambing itu, mampu menunaikannya. Ibu pun diajak serta. Beberapa tahun sebelumnya, ayah memberangkatkan nenek dari pihak ibu (satu-satunya orang tua yang masih ada saat itu) ke tanah suci, dalam rombongan haji Republik Indonesia, yang pertama kali menggunakan pesawat terbang. Tahun-tahun sebelumnya, jamaah calon haji berangkat ke Mekkah dengan kapal laut. Tahun tujuh puluhan, tukang kambing sudah pergi haji.
Sejak kembali dari tanah suci, seperti kebanyakan orang, ayah menambahkan inisial H di depan nama di KTPnya. Tapi yang lebih esensial, tensi temperamentalnya jauh menurun. Nama kecil yang lebih populer, jarang disebut-sebut orang kecuali oleh teman-teman yang sangat dekat dengan ayah. Ini yang saya sebut sebagai proses metamorfosis. Walaupun demikian, sebutan Udin Tukang Kambing memang sudah jadi branding yang abadi. Sampai akhir hayat, masih ada orang yang lebih familiar menyebut nama itu daripada nama aslinya.
Mungkin karena itu pula, di jelang akhir Ramadhan 1437 H, ayah khusus memanggil saya untuk satu persoalan, yaitu nama JayTeroris. Entah siapa pula yang melaporkan hal ini kepada beliau. Bertahun-tahun saya gunakan nama itu dengan aman sentosa. Banyak orang yang secara halus meminta nama itu diganti, termasuk istri saya. Tapi maaf, tidak saya gubris.
Di depan ayah, saya tidak membantah. Permintaan untuk kembali menggunakan nama pemberian beliau, saya terima sepenuhnya. Hari itu juga, saya lakukan penggantian nama di akun sosial media. Untuk lebih menghormati beliau, saya bubuhkan nama SIDIK di belakang nama KTP dan Ijazah saya. Saya bangga menyandang nama beliau.
Seharusnya, kami (saya istri dan anak) ada di Jepang pekan ini. Menjelajah negeri matahari terbit, mungkin sampai ke Hokaido. Kondisi ayah sepuluh hari terakhir, membuat saya agak enggan berangkat. Allah Maha Pengatur. Riza, anak kami masih harus ujian akhir sarjana kedokterannya di 11 Januari 2017. Akhirnya cuti dibatalkan. Tiket ditunda.
Sepuluh hari terakhir, kondisi ayah memang sangat memburuk. Penyakit Multiple Myeloma mengerogoti tubuh renta itu bertahun-tahun. Makanan sudah tidak lagi bisa disuapi, tapi harus diblender dan disuapkan dengan menggunakan alat khusus. Bersamaan dengan itu, ibu, yang selama 4 tahun merawat ayah nyaris tanpa cela, harus masuk ruang perawatan di RSPAD karena Hbnya sangat rendah. Perawatan ayah dilakukan oleh kami, anak-anaknya, yang piket bergantian.
Sore di 8 Januari 2017, jam 16.30. Salah seorang adik posting pesan pendek tapi penting di grup WA keluarga. Segera ke Setiabudi. Tanpa banyak tanya, semua bergerak. Masih ada satu berita yang disampaikan per telepon oleh seorang kakak. Kepergian ayah sudah sempurna. WaktuNya sudah sampai untuk beliau.
Tugas kami selanjutnya adalah mempersiapkan penanganan jenazah sampai ke pemakaman. Saling berbagi tugas, mengurus banyak hal. Alhamdulillah, usai dimandikan dan dikafani, saya berkesempatan mengimami shalat jenazah untuk ayah, dan diikuti semua anggota keluarga besar. Masih ada shalat jenazah lagi untuk beliau, yang dilaksanakan di masjid Hidayatullah, sebelum jenazah dimakamkan. Saya ikut turun ke lubang makam untuk menempatkan posisi jenazah. Itu tugas fisik terakhir bagi saya untuk beliau.
Baba (ini panggilan akrab kami, untuk ayah). Saya bangga jadi anakmu. Anak seorang tukang kambing. Selalu.
Tebet, 10 Januari 2017
Comments
Post a Comment