Agama Terbaik

Konon, pemimpin spiritual rakyat Tibet, Dalai Lama, pernah ditanya soal agama
terbaik
menurutnya. Kalau saya ditanya soal yang sama, pastilah jawaban saya, Islam, agama yang saya anut. Itu juga dugaan Leonardo Boff, seorang peneliti asal Brazil yang tergabung dalam the Teology of Freedom. Karena Dalai Lama menganut Budha, diduganya jawaban yang bakal diterima pastilah agama yang disebarkan oleh Sidharta Gautama itu.
Dugaan Boff salah. ‘Agama
terbaik
adalah agama yang membuat anda menjadi orang yang lebih baik’. Tak puas dengan jawaban itu, Boff bertanya lanjut, Apakah tanda agama yang membuat kita menjadi lebih baik’.
‘’Apapun, agama yang bisa membuat anda Lebih welas asih, lebih berpikiran sehat, lebih objektif dan adil, lebih menyayangi, lebih manusiawi, lebih punya rasa tanggung jawab, lebih beretika.
Agama yang punya kualitas seperti itulah agama
terbaik
,’ paparnya. Lebih lanjut, sang pemimpin spiritual bersuara lembut itu menyatakan, ‘Tidak penting bagiku, apa agamamu. Saya juga tidak peduli anda beragama atau tidak. Yang betul-betul penting bagi saya adalah perilaku anda di depan kawan-kawan anda, di depan keluarga, lingkungan kerja dan dunia.’. Tetiba ingat GusDur ...
Empat belas abad silam, seorang Nabi pernah menyampaikan hal yang kurang-lebih sama kepada para pengikutnya. Beliau bersabda, ‘Tahukah kalian yang disebut seorang itu Muslim?’ Seorang Muslim adalah manusia yg dapat menjaga lidahnya dan tangannya, lanjut beliau.
Beliau bertanya lagi, tahukah kalian yang disebut Mu’min? Dialah orang yang mendatangkan rasa aman kepada orang lain dalam hartanya dan dalam dirinya (kehormatan serta kehidupannya).
Dalam keyakinan saya, Islam adalah agama yang sangat ramah lingkungan. Pesan-pesan Kanjeng Nabi di atas, setidaknya menunjukkan bukti soal itu. Sayangnya, perilaku umatnya agak kurang kompatibel dengan pesan-pesan itu.
Buktinya? Coba cek perilaku sejumlah oknum yang menyebut dirinya religius. Dari skala kecil deh, mengendarai sepeda motor untuk melaksanakan shalat anpa perlu mengenakan helm. Hadir di pengajian mengendarai sepeda motor dengan suara knalpot memekakkan telinga. Atau mencetak kitab suci dengan kertas yang tak jelas asal-usul legalitas dan keberlanjutannya. Bahkan biaya cetaknya pun dikorupsi.
Pernahkah kita berhitung, apa dampak negatif yang ditimbulkan dari perjalanan ibadah umrah dan haji berulang-kali? Berapa emisi karbon yang dihasilkan oleh asap pesawat terbang dan kendaraan bermotor untuk transportasi lokal di sana? Coba dihitung, berapa banyak makanan dan bahan pangan terbuang dalam pelaksanaan kedua ibadah itu?
Beberapa tahun lalu, kami menemukan sebuah organisasi yang erat kaitannya dengan ibadah haji dari negeri jiran, menginvestasikan dananya untuk membangun perkebunan sawit yang merusak dan membakar hutan. Halalkah hasilnya jika dipakai beribadah? Ada juga oknum yang menjadikan umrah dan haji sebagai kamuflase perilaku korupnya.
Agaknya, kalau sudah atas nama agama, mereka itu seolah buta terhadap dampak negatif. Begitukah kita?

Comments