Sekolah Para Monyet (3)

Steve Jobs, CEO Apple Computer dan Pixar Animation Studios, dalam sebuah acara wisuda di salah satu Perguruan Tinggi di Amerika Serikat, berpesan kepada para wisudawan dengan kalimat yang menyentak. “Teruslah lapar. Teruslah bodoh.” Di Indonesia, guru bisnis saya, pak Bambang Mustari (kita lebih familiar memanggilnya Oom Bob Sadino) berkali-kali mengatakan bahwa kalau anda mau jadi pengusaha, anda harus bodoh dahulu.

Dua pentolan bisnis di atas bisa jadi tidak salah. Hanya orang bodoh yang masih mungkin punya minat belajar. Orang-orang pintar, dan merasa cukup dengan kepintarannya, biasanya sudah tidak mau belajar lagi. Mereka enggan melakukan hal-hal yang dianggap tidak sesuai dengan tingkat kepintarannya. Mereka tidak mau melakukan hal-hal yang semestinya dilakukan oleh sebuah usaha baru. Sekolah sudah mendidik mereka untuk memilih jalur cepat dalam segala hal, termasuk dalam berwirausaha. Dan sekolah-sekolah wirausaha yang ada, mayoritas dihuni oleh jenis orang pintar seperti ini. Itu sebabnya, angka keberhasilannya sangat rendah.

Seorang alumni Institut Kemandirian, yang tidak pernah lulus SD, pernah menyatakan minatnya untuk belajar berbicara di depan publik. Ini penting baginya untuk mempresentasikan usahanya kepada orang banyak. Kendala yang dihadapi, adalah rasa percaya diri yang rendah, dan seringkali gugup ketika bertemu orang lain. Sudah menjadi kebiasaan kami, untuk menggunakan cara-cara yang tidak umum. Untuknya, saya perintahkan padanya untuk mencukur kumis. Bukan seluruhnya, tetapi hanya separuh.

Saya yakin, orang-orang pintar tidak akan mau melakukannya. Mereka lebih suka bersembunyi di balik aneka alasan, misalnya malu, gengsi dan sebagainya. Dan sebagainya. Acungan jempol harus saya arahkan kepada alumni IK yang satu ini. Ia berani melakukannya di depan para siswa yang masih belajar di IK.

Bukan itu saja. Saya perintahkan padanya untuk tidak mencukur kumisnya (yang masih tersisa) selama satu minggu. Selain itu, ia kami minta untuk sesering mungkin bertemu orang banyak, entah itu di dalam bus kota atau di mal. Dan, perintah itupun dilakukannya tanpa banyak tanya. Ia melakukannya seperti saya mengisi kolam di rumah guru mengaji ketika kecil dahulu.

Selang satu minggu, ia datang lagi. Satu alat cukur baru sudah tersedia untuk mencukur sisa kumisnya. Satu pertanyaan kami ajukan padanya. “Adakah komentar orang lain ketika melihat kumismu hanya sebelah ?” Ia menjawab dengan kalimat yang sudah kami duga sejak awal. “Tidak ada komentar pak. Mereka seolah tidak peduli dengan kumis saya.”

“Apakah pembicaraan kamu ditanggapi ?”

“Ditanggapi pak. Waktu saya tawarkan selembar brosur usaha saya, mereka kebanyakan mau membacanya. Bahkan seminggu ini ada tiga calon mitra usaha yang tertarik.”

Pembicaraan itu kami tutup dengan satu kesimpulan. Seringkali orang tidak peduli dengan ganteng tidaknya wajah anda. Mereka lebih peduli dengan apa yang anda tawarkan. Kalau demikian, nggak perlu malu dengan wajah ’ndeso. Fokuslah pada isi pembicaraan. Dan kesimpulan itu membuatnya lebih percaya diri. Kini, ia dengan nyaman bisa berbicara di depan publik, nyaris tanpa hambatan. Uniknya, kebanyakan audiensnya adalah orang-orang pintar bergelar sarjana S1, S2, S3 bahkan profesor.

Ini memang kesimpulan sementara. Sebuah sekolah, termasuk juga sekolah wirausaha, membutuhkan dua hal. Dari sisi seorang guru, dibutuhkan kesabaran dan kebijakan dalam memberikan tugas atau perintah kepada muridnya. Tidak ada perintah dengan maksud ’ngerjain’. Dari sisi seorang murid, setidaknya ia bersedia menerima dan melaksanakan perintah gurunya dengan disiplin dan penuh tanggung jawab, untuk kepentingannya sendiri. Kesabaran dan kebijakan seorang guru, bersinergi dengan disiplin dan tanggung jawab seorang murid, memperbesar peluang keberhasilan sebuah proses pembelajaran. Sekolah monyet di Surat Thani dan Prajamusti, atau sekolah manusia di Institut Kemandirian, sedikit banyak sudah membuktikannya.

Comments