Potensi Fraud di Lembaga Sosial


Diskusi menarik dalam kuliah kemaren malam, adalah soal audit. Seorang mahasiswa yang bekerja di bagian audit, mengutarakan kegundahannya. Dalam tugasnya, dia sering melakukan audit di berbagai lembaga bisnis maupun pemerintahan, dan berbagai penyimpangan keuangan, kerap dia temukan. Itu soal biasa, katanya. Yang luar biasa adalah kalau di lembaga bisnis atau pemerintahan itu tidak ada penyimpangan sama sekali.
Sekali waktu dia ditugaskan mengaudit sebuah lembaga sosial. Dan menurutnya, temuan itu mencengangkan (padahal menurut saya, itu fenomena umum yang sudah saya jumpai sejak lama). Lembaga yang seharusnya menjaga nilai-nilai kebaikan, ternyata justru rentan penyelewengan. Potensi fraudnya lumayan tinggi. Dia minta saya menjelaskan fenomena ini.
Saya jawab dengan tinjauan dari dua sisi. Pertama dari sisi donatur. Namanya lembaga sosial, sebagian besar dana operasionalnya berasal dari sumbangan berbagai pihak yang tidak mengikat. Bahkan saking tidak mengikatnya, donatur kerap abai, untuk apa dananya digunakan. Karena donasi bersifat sukarela, donatur tidak mengontrol penggunaan uangnya. Harapan donatur mungkin pahala kebaikan, atau bahkan surga. Sungguh berbeda dengan lembaga bisnis atau pemerintahan, yang serius sekali menangani kontrol keuangan.
Dari sisi kedua, tentu dari sisi pengelola. Menurut mahasiswa tadi, System Operating Procedure (SOP) lembaga sosial itu tidak terlalu rigid mengatur pelaporan. Dan menurut saya, itu fenomena umum. Nggak banyak lembaga sosial, termasuk yang berbasis agama, memiliki mekanisme yang merilis laporan keuangannya secara berkala. Mungkin itu akan dilakukan hanya kepada Tuhan, kelak.
Maka terjadilah kasus dana sumbangan yang awalnya dimaksudkan untuk menolong para jompo, digeser untuk membeli Toyota Fortuner. Dalihnya, toh untuk operasional lembaga juga. Menjadi tidak relevan karena dari satu miliar lebih dana penghimpunan, sebagiannya untuk membeli mobil. Para jompo hanya kebagian sisanya. Kasusnya selesai setelah mobil itu dijual, dan dananya diserahkan kepada sebuah lembaga lain. Apa hanya itu saja?
He he. Unfortunately, tidak. Masih ada yang lain, bahkan dalam jumlah yang jauh lebih besar. Konon sampai 3 milyar, dan dilakukan oleh satu orang. Transaksinya berkali-kali, yang menunjukkan kelemahan mekanisme kontrol lembaga tersebut.
Apa pelajarannya? Sebagai donatur, rajin-rajin memantau laporan keuangan lembaga sosial tempat kita menyerahkan donasi. Atau kalau mau memilih lembaga penyalur donasi, pastikan bahwa lembaga itu membuka laporan keuangannya kepada publik. Bukan hanya pamer foto-foto heroik di lapangan.
Pilih lembaga sosial mirip dengan pilih duren. Boleh percaya sama pedagangnya. Boleh juga memilih berdasarkan tampilan citra luarnya. Tapi pilihan terbaik kalau kita bisa menelisik laporan keuangannya. Yuk pilih duren!


Comments