Perjanjian Yang Terkubur

Peneliti sejarah, Karen Armstrong menulis dalam bukunya Fields of Blood, Religion and the History of Violence (2014) : Agama, bukan saja Islam, hanyalah ditunggangi oleh para elit politik dan ekonomi yang berkonflik untuk meluaskan wilayah kekuasaannya dan memperbesar pundi-pundi hartanya. Brilian! Setelah sekian lama mencari bahan bacaan untuk menjelaskan akar perilaku kekerasan umat beragama di luar perang, kini saya menemukannya.
Pada bagian akhir buku itu, Armstrong memuat sejumlah data anekdotal soal ISIS, terkait dengan ‘keimanan’ mereka yang tertarik masuk ke dalam versi ‘kekhalifahan’ itu. Dua warga Inggris yang pergi ke Suriah bulan Mei 2014 untuk tujuan ‘jihadi’, sebelumnya membeli buku Islam for Dummies dari Amazon. Didier Francois, wartawan Prancis yang ditahan selama 10 bulan oleh ISIS, tak sekalipun pernah mendengar ayat-ayat suci diperdengarkan di antara para ‘jihadi’ itu. Dia hanya mendengar dialog yang politis dan sekular. David Kenner, jurnalis Foreign Policy yang mewawancarai 15 orang anggota ISIS di Jordania menemukan bahwa tak satupun di antara mereka yang pernah membicarakan alasan religius dalam keikutsertaannya di ISIS. Diungkapkannya, saat adzan berkumandang, tak satupun di antara mereka yang terpantau menyegerakan shalat.
John Andrew Morrow, salah seorang peneliti otoritatif dalam hubungan Islam dan Muslim dengan umat beragama lain, menyatakan bahwa anggota ISIS bukanlah Muslim yang taat beragama. Berdasar sejumlah data tak terbantahkan soal pendapatan yang dijanjikan kepada orang-orang yang bergabung dengan ISIS, Morrow menyatakan bahwa mereka hanyalah tentara bayaran. Morrow menolak menyatakan ISIS sebagai gerakan keagamaan. Bahkan, secara terbuka ia juga menyatakan bahwa para pengikut ISIS adalah kawan-kawan setan serta musuh-musuh Allah dan Nabi-Nya. Muslim yang mengikuti perintah Allah dan Nabi-Nya dalam kondisi apapun akan menjalankan apa yang diajarkan dalam hadits Nabi Muhammad SAW—yang dinyatakan sahih oleh Bukhari, Muslim, Nasa’i, dan Ibnu Majah—“Kasih Sayang-Ku menaklukkan amarah-Ku.”
Pembacaan atas sejumlah doktrin Islam yang komprehensif akan menghasilkan wajah Islam yang bukan saja toleran, melainkan memberikan dukungan perdamaian dengan seluruh umat manusia. Sayangnya saya tidak bisa melupakan wajah minoritas (mereka yang mengaku) Muslim yang mendukung kekerasan dan mengatas-namakan agama dalam melakukannya.
Inilah fenomena yang sangat serius di tubuh umat Islam di Indonesia, dan di manapun. 10 tahun lalu Khaled Abou El Fadl menulis The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists. Dia mengingatkan umat Islam di seluruh dunia dari bahaya ekstremisme. Dia juga memberikan beragam rekomendasi agar Muslim bisa keluar dari kondisi yang tak ideal dari sudut pandang Islam yang otentik itu. Di buku lainnya, And God Knows the Soldiers: The Authoritative and Authoritarian in Islamic Discourses (2001) juga The Place of Tolerance in Islam (2002) dengan sangat gamblang El Fadl menunjukkan bahwa mereka yang cenderung otoriter dalam beragama sesungguhnya bukanlah mereka yang otoritatif dalam pengetahuan. Toleransi, menurutnya, dan saya punya keyakinan yang sama, adalah ciri dari mereka yang benar-benar memahami Islam secara otoritatif.
Dalam pandangan El Fadl dan juga Morrow, interpretasi sembrono memang cenderung pada kekerasan, dan karenanya mereka berdua memberikan saran untuk kembali kepada sumber-sumber langsung yang sahih dan otoritatif, dengan mencari pemahaman kontekstual atas sumber-sumber itu. Salah satu resep yang terpenting, adalah untuk melihat bagaimana Sang Nabi sendiri menyikapi hubungan dengan umat agama lainnya. Riwayat tentang akhlak Nabi kepada sesama Muslim sangatlah masyhur, namun tak banyak Muslim yang mengetahui secara persis bagaimana Kanjeng Nabi bersikap kepada pemeluk agama-agama lainnya.
Kini para penguasa mimbar masjid yang jauh dari otoritatif —termasuk di Indonesia— menyebarkan keyakinan yang keliru, menyampaikan kebencian kepada umat dari agama lainnya, dan anehnya, dipercaya publik. Saya menduga, kebanyakan Muslim modern, bakal terkaget-kaget bila ditunjukkan dokumen-dokumen otentik yang disarankan El Fadl maupun Morrow untuk dipelajari. Salah satunya adalah perjanjian yang dibuat oleh Nabi Muhammad dengan biara St Catherine di Gunung Sinai. Kanjeng Nabi masyhur diriwayatkan memiliki hubungan yang sangat baik dengan para pendeta di Sinai, dan karenanya menuliskan perjanjian dengan mereka sejak awal pertumbuhan Islam.
Dalam teks perjanjian tersebut—yang tampaknya dibuat pada tahun 626 Masehi, atau sekitar 6 tahun sebelum Sang Nabi wafat—dapat dibaca sikap-sikap yang tegas tentang toleransi, perlindungan, serta dukungan untuk umat Kristiani di manapun di seluruh dunia. Perlindungan terhadap hak untuk menjalankan ibadah, jaminan keamanan atas bangunan gereja, kebebasan untuk memilih hakim-hakim, jaminan pengelolaan properti tanpa diganggu, perlindungan dalam perang, adalah di antara butir-butir yang ditegaskan. Buat kebanyakan Muslim yang kini hidup dalam pengaruh interpretasi yang tidak toleran, isi perjanjian itu bakal benar-benar -dalam bahasa kekinian -, nampol!
Teks yang tersimpan hampir 900 tahun di perpustakaan biara itu dipindahkan ke Istanbul ketika kekuasaan Uthmaniyah (Ottoman) menaklukkan Mesir pada tahun 1517. Sultan Selim I yang berkuasa pada saat itu kemudian memastikan bahwa salinan naskah sesuai dengan aslinya juga tersedia di biara itu. Caranya adalah dengan menghadirkan para saksi dengan reputasi tak tercela dari pihak Islam maupun Kristen. Antara tahun 1517 hingga 1798 —selama Uthmaniyah berkuasa— penguasa Mesir selalu mereafirmasi perjanjian tersebut, bahkan mencatat kondisi hubungan Muslim – Kristiani dalam dokumen-dokumen kenegaraan.
Perjanjian tersebut bisa dilihat bentuk aslinya, serta terjemahan dalam bahasa Inggrisnya di situs http://www.muslimsforpeace.org/holy-prophet/the-covenant/. Bunyinya adalah sebagai berikut:
“This is a message from Muhammad, son of Abdullah, as a covenant to those who adopt Christianity, near and far, we are with them.
Verily I, the servants, the helpers, and my followers defend them, because Christians are my citizens; and by Allah! I hold out against anything that displeases them. No compulsion is to be on them. Neither are their judges to be removed from their jobs nor their monks from their monasteries.
No one is to destroy a house of their religion, to damage it, or to carry anything from it to the Muslims’ houses. Should anyone take any of these, he would spoil God’s covenant and disobey His Prophet. Verily, they are my allies and have my secure charter against all that they hate.
No one is to force them to travel or to oblige them to fight. The Muslims are to fight for them. If a female Christian is married to a Muslim, it is not to take place without her approval. She is not to be prevented from visiting her church to pray.
Their churches are to be respected. They are neither to be prevented from repairing them nor the sacredness of their covenants. No one of the nation of (Muslims) is to disobey the covenant till the Last Day (end of the world).”
Terjemahan bebasnya dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut:
“Ini adalah pesan dari Muhammad bin Abdullah, sebagai perjanjian dengan para pemeluk agama Kristen, di manapun mereka berada, (dengan ini kami [umat Islam] menyatakan) persekutuan dengan mereka.
Sesungguhnya saya, para pelayan, para pembantu, dan para pengikutku, akan membela mereka (umat Kristiani); dan demi Allah saya menentang segala hal yang tidak menyenangkan mereka! Mereka sama sekali tidak boleh dipaksa (melakukan hal-hal yang tidak mereka sukai). Hakim-hakim Kristiani tak boleh disingkirkan dari pekerjaan mereka, demikian juga para biarawan tak boleh disingkirkan dari biara-biara mereka.
Tak seorang Muslim pun diperbolehkan untuk menghancurkan rumah umat Kristiani, merusaknya, atau mengambil sesuatu darinya untuk dimiliki. Barang siapa yang melakukannya sesungguhnya ia telah mencederai perjanjian (yang disaksikan oleh) Tuhan ini, serta tidak mematuhi NabiNya. Sesungguhnya mereka adalah sekutuku dan mendapatkan perlindunganku dari segala sesuatu yang tidak mereka sukai.
Tak seorang Muslim pun diperkenankan untuk memaksa mereka pergi atau berperang. Umat Muslim lah yang akan berperang untuk mereka. Jika seorang perempuan Kristiani menikah dengan seorang pria Muslim, itu harus atas persetujuan si perempuan. Si perempuan juga tak boleh dihalangi untuk beribadat di gerejanya.
Gereja-gereja umat Kristiani harus dihormati. Mereka tak boleh dihalang-halangi untuk memperbaiki bangunan gereja atau menjaga kesucian perjanjian-perjanjian mereka (dengan Tuhan). Tak seorang Muslim pun diperkenankan untuk melanggar perjanjian ini hingga Akhir Zaman (Hari Kiamat).”
Yang saya temukan dari naskah tersebut adalah sebuat narasi yang paling kompatibel dengan keyakinan saya tentang bagaimana Muslim harus bersikap kepada umat beragama lain yang tidak menebarkan permusuhan. Perasaan damai yang ditimbulkan oleh pembacaan atas naskah tersebut benar-benar membuat saya menghayati apa arti Islam yang sesungguhnya, yang jauh dari kepentingan politik dan ekonomi duniawi yang kini banyak mengotori tafsir hubungan Muslim dengan penganut agama lain.
Saya sangat yakin bahwa naskah di atas adalah penawar yang ampuh dari racun yang kini banyak menjangkiti kalbu mereka yang mengaku Muslim namun gemar melakukan kekerasan fisik dan mental kepada umat beragama lain, maupun terhadap sesama Muslim yang memiliki pandangan berbeda. Muslim yang selama ini tidak atau belum tersentuh oleh akhlak Sang Nabi sebagaimana yang tertera di naskah itu haruslah diberi kesempatan untuk membacanya, dan dituntun untuk memelajarinya lebih jauh, agar semakin paham dengan keluhuran Sang Nabi. Anak-anak Muslim seharusnya mendapatkan pengajaran tentang naskah perjanjian yang sudah terkubur berabad-abad itu, karena akhlak yang tertera di situ secara gamblang dinyatakan mengikat seluruh Muslim hingga akhir zaman. Sudah terlampau lama mayoritas Muslim melupakan perjanjian tersebut, dan kini urgensi untuk mengingatkannya kembali sangatlah tinggi.

Comments