Maaf, Saya Lebih Hormat Sama Monyet ........

Di dunia ini, ada manusia yang jadi bahan tertawaan manusia lain.  Dan salah satu manusia yang ditertawakan manusia lain adalah manusia Indonesia.  Itu lah oleh-oleh yang saya bawa, dari forum bulanan Padhang mBulan pimpinan budayawan Emha Ainun Nadjib beberapa bulan lalu.

Oleh-oleh yang saya harap, bisa menjadi dasar pemikiran untuk membuat negeri ini menjadi lebih baik.  Bukan dari gerakan-gerakan masif yang membutuhkan banyak dana, tenaga dan waktu tetapi dari gerakan-gerakan sederhana yang irit dana, tenaga dan waktu.  Kita butuh gerakan-gerakan yang dimulai dari diri kita sendiri.

Siang itu, di sepanjang ruas jalan TB Simatupang, tepatnya dari perempatan RS Fatmawati sampai perempatan Lebak Bulus, di sisi kiri dan kanan jalan, saya melihat pemandangan yang menurut kawan-kawan saya, sudah terlihat dalam dua bulan belakangan.  Bukan hanya di ruas jalan itu, tetapi juga di beberapa ruas jalan lain seperti jalan Adhyaksa (kawasan Lebak Bulus), Pancoran, Cempaka Putih, Rawamangun dan sebagainya.  Dan makin hari semakin ramai.  Rupanya ada fenomena perubahan yang sedang terjadi.  Para pengelola sirkus topeng monyet, sudah mengalihkan usahanya dari pertunjukan di lingkungan perumahan ke jalan-jalan raya.  Mungkin lingkungan perumahan sudah bukan lagi lahan cari uang yang subur untuk usaha pertunjukan topeng monyet. 

Beberapa tahun lalu, para pengelola sirkus ini berkeliling di lingkungan perumahan untuk menawarkan jasanya.  Para pemakai jasa yang kemudian menjadi penonton eksklusif itu, membayar sejumlah uang untuk jasa pertunjukan mereka.  Pertunjukan itu tidak hanya ditonton oleh para penonton eksklusif, tetapi juga oleh para tetangga dan beberapa orang yang kebetulan lewat.  Bedanya, para penonton itu tidak perlu membayar.  Ketika krisis terjadi, sebagian orang merasa agak berat mengeluarkan sejumlah dana untuk menonton sirkus itu.  Akibatnya, pendapatan para pengelola sirkus menurun drastis.

Seolah peka terhadap arus perubahan, para pengelola sirkus mencoba mencari cara lain untuk meningkatkan penghasilannya.  Mereka menggelar pertunjukan di jalan-jalan raya tanpa perlu ada permintaan.  Mereka hanya mengharapkan para pengemudi menyisihkan sekeping dua uang receh pecahan lima ratus atau seribu rupiah.  Dan, hasil survei sederhana yang saya lakukan, ternyata penghasilan mereka meningkat pesat.  Kalau dengan cara lama, mereka hanya bisa dapatkan Rp. 20.000,- sampai Rp. 50.000,- per hari, dengan cara baru mereka bisa dapatkan penghasilan di atas Rp. 100.000,-

Para pengelola sirkus itu, dengan pakaian seadanya, - dekil and de kummel, duduk di atas kotak kayu berisi peralatan pertunjukan, memegangi ujung rantai pengikat sang bintang pertunjukan.  Monyet.  Sesekali ia meneriakkan sesuatu sambil terus memainkan alat musik gendang. 

Monyet-monyet yang sudah terlatih, sebagian besar mengenakan topeng, melompat-lompat, salto, jumpalitan, menarik gerobak, berdandan, sampai naik sepeda motor mainan. Intinya, monyet-monyet itu mempertunjukkan kebolehannya, mempertontonkan kepandaiannya untuk mendapatkan uang.  Ada saja pengemudi kendaraan bermotor roda dua dan empat yang bersimpati, dengan cara melemparkan kepingan uang logam lima ratus dan atau seribu rupiah, maupun selembar pecahan seribu atau lima ribu rupiah.  Ada juga yang sengaja menjulurkan lembaran uang kertas untuk diambil langsung sang monyet.  Setelah diterima, monyet itu kemudian memasukkan uang itu ke dalam kotak, atau menyerahkannya kepada sang majikan.  Setor .............

Ketika melihat sang monyet kelelahan, rupanya sang majikan cukup tanggap.  Ada minuman yang diberikan kepada sang bintang.  Ada makanan yang bisa dikonsumsi sang diva pertunjukan.  Lain halnya ketika sang monyet yang sudah kenyang tampak bermalas-malasan.  Ada teriakan bernada perintah.  Ada juga tarikan rantai yang menyentak.  Bahkan ada juga pukulan cambuk.  Sungguh tidak berperikebinatangan .......

Melintasi ruas jalan TB Simatupang, utamanya sejak perempatan RS Fatmawati sampai perempatan Lebak Bulus, seperti membenarkan bahwa apa yang saya tulis di buku Monyet Aja Bisa Cari Duit!  Para pengelola sirkus itu mendapatkan cukup banyak uang dari pertunjukan topeng monyetnya.  Dan para monyet itupun sedikit lebih sejahtera hidupnya, dari kepandaian yang dimilikinya.

Sayangnya, apa yang saya temui di ujung ruas jalan itu, seolah membenarkan statemen Emha Ainun Nadjib di forum Padhang mBulan.  Manusia Indonesia saat ini sedang jadi bahan tertawaan manusia lain, atau bahkan makhluk lain.  Tepat di perempatan lampu merah Lebak Bulus, saya melihat setidaknya 3 manusia yang berprofesi sebagai pengemis.  Mereka menjual, - maaf, kecacatan mereka, untuk mendapatkan uang.  Dan lebih parah lagi, ada empat atau lima mahasiswa (saya menyebutnya demikian karena mereka mengenakan jaket almamater) yang menyorong-nyorongkan sebuah kotak.  Mereka meminta sumbangan, entah untuk siapa?

Ada ironi di sini.  Para monyet mempertunjukkan kebolehannya dalam mencari uang.  Setelah dapat uang, mereka menyerahkan uang perolehannya kepada sang majikan, sukarela atau terpaksa.  Sementara manusia, dan atau mahasiswa, terlepas dari niat baik mereka menolong orang lain, memilih untuk ’meminta-minta’ dan hasilnya disumbangkan kepada pihak lain.   Tidak adakah cara lain yang lebih elegan?

Salahkah bila saya lebih hormat kepada para monyet?

Comments