Jauh hari setelah Kanjeng Nabi hijrah ke Madinah, beliau kembali ke kota kelahirannya, Makkatul Mukarramah. Situasinya sungguh berbeda dibanding saat Islam baru didakwahkan. Kalau dulu nabi Muhammad dimusuhi, setelah kembali ke Mekkah malah banyak yang mendatangi beliau. Bahkan tak jarang, saat mau pulang Kanjeng Nabi membekalinya dengan berbagai kebutuhan sehari-hari, atau yang lebih mahal lagi seperti binatang ternak dan perhiasan.
Tentu saja hal itu memicu ‘kecemburuan’ sejumlah sahabat Anshar, yang telah banyak membantu perjuangan Nabi Muhammad dan para sahabat saat hijrah. Para sahabat Anshar justru ‘nggak dapat apa-apa’.
Saat hal itu disampaikan kepada Rasulullah, dengan enteng beliau menjawab kepada perwakilan Anshar: ‘Yang kalian ingin, harta dariku atau aku?’ Dan para sahabat Anshar pun sami’na wa atha’na. Itu logika nubuwwah.
(Kalau kita yang jawab, mungkin mau dua-duanya …).
* * *
Di masa kepemimpinan Abu Bakar Ash-Shiddiq, luasan wilayah kepemimpinan kaum muslimin terus bertambah. Hal itu mendorong sang khalifah untuk mengangkat pemimpin-pemimpin baru di berbagai wilayah. Dan, - entah disengaja atau tidak, yang diangkat sebagian besar adalah mereka yang memeluk Islam belakangan. Hal ini memicu kecemburuan para ahli Badr (pejuang di perang Badar), yang kemudian mengutus beberapa orang untuk menghadap Khalifah. Apa jawaban mertua Kanjeng Nabi itu?
‘Dulu kalian adalah pejuang. Pemberi. Mengapa sekarang ingin menjadi penerima. Penikmat? Bukankah itu menurunkan derajat kepejuangan kalian semua?’
Dan para ahli Badr pun sami’na wa atha’na. Itu logika nubuwwah.
* * *
Ribuan tahun sesudahnya. Sebuah negeri bisa merdeka sebagai sebuah bangsa karena perjuangan seluruh rakyatnya, tanpa melihat mayoritas dan minoritas. Dan setelah merdeka, sejumlah keturunan dari para pejuang itu (bahkan yang bukan keturunan) mempertanyakan hasil perjuangan para leluhur mereka. ‘Kami dapat apa?’ Begitu kira-kira pertanyaan mereka.
Itu logika apa?
Comments
Post a Comment