Kertas Lakmus

Jika anda pernah belajar ilmu kimia, pasti anda pernah mengenal kertas lakmus. Kertas lakmus biasanya berupa kertas berwarna abu-abu yang berfungsi sebagai pembeda suatu larutan bersifat asam atau basa.

Jika kertas lakmus itu dicelupkan ke dalam larutan asam, misalnya asam sulfat (H2SO4), warna kertas berubah menjadi merah. Jika digunakan pH meter, sudah pasti pH larutan itu di bawah angka 7. Tetapi ketika kertas lakmus dicelupkan ke dalam larutan basa, Misalnya Natrium hidroksida (NaOH), warna kertas  berubah menjadi biru.  Dengan pH meter, akan diketahui pH larutan itu pasti di atas skala 7.  Dalam ilmu kimia, kebenaran yang ditunjukkan oleh kertas lakmus bersifat absolut.  Sebagai indikator asam atau basa, apa yang ditunjukkan oleh warna kertas lakmus tidak bisa dibantah.

Dalam menjalani kehidupan, manusia ditempa oleh berbagai pengalaman, baik pengalaman dirinya sendiri, maupun pengalaman orang lain.  Pengalaman yang disebut terakhir, bisa diperoleh dengan cara membaca buku, atau mendengar dari tuturan orang lain.  Sepanjang perjalanan hidup yang sudah saya jalani, saya bisa mengambil kesimpulan, bahwa ada satu  indikator yang sangat presisi dalam menentukan baik buruknya seseorang.   Indikator yang dalam ilmu kimia dikenal sebagai kertas lakmus, dalam kehidupan sehari-hari disebut uang.  Duit. Money.  Baik buruknya seseorang, bisa dilihat dari sikapnya mengelola uang, terutama uang orang lain.  Jadi, kalau mau tahu seseorang itu baik atau buruk, beri dia kepercayaan mengelola uang.   Dia orang saleh atau bajingan, salah satu  indikator yang paling presisi adalah uang.  

Dahulu, saya punya seorang kawan.  Dengan hanya melihat kesehariannya, saya begitu percaya bahwa dia orang baik.   Begitu pula dengan begitu banyak orang lain, yang saya kenal atau pun tidak.   Bayangkan saja.  Betapa khusyu’ shalatnya.  Begitu indah suaranya ketika melantunkan ayat-ayat suci.  Bukan main manis dan sejuk kata-kata yang keluar dari mulutnya.  Alangkah tinggi ilmu agamanya, seakan-akan ia mendapatkan ajaran agama langsung dari Nabi.   Sampai suatu saat ia datang kepada saya, dengan sebuah proposal.  Dia ingin berwirausaha, dan untuk itu ia mengajukan permohonan pinjaman modal.  Tak lupa dia menawarkan skema pengembalian modal, lengkap dengan pembagian keuntungannya. Dengan hanya melihat kesehariannya, saya penuhi keinginannya.   Pembagian keuntungan, mungkin menjadi salah satu pertimbangan bagi saya, tetapi bukan segala-galanya.  Membantu orang baik, saya pikir bukan perbuatan yang keliru.  Kebetulan, posisi saya di kantor sudah memungkinkan saya memiliki sedikit tabungan.  

Sebagai salah satu langkah kontrol, saya tidak memberinya uang kontan, tetapi uang itu sudah saya belikan perangkat usaha yang dia inginkan.  Dan mulailah ia menjalankan usahanya.  Sampai beberapa bulan, ia tidak pernah mengontak saya.  Bahkan, ketika saya kontak ke rumahnya, ternyata dia sudah pindah rumah.  Tempat usahanya pun sudah pindah.  Sampai suatu saat, setelah bertahun-tahun menghilang,  secara tidak sengaja saya menjumpainya. Dia seperti ingin menghindar.  Tapi tidak sempat karena saya mengenalinya.

Seperti layaknya kawan lama, kami bersalaman.  Basa-basi sebentar, dan pembicaraan kemudian bergeser pada masalah pinjamannya dahulu.  Bercerita lah ia mengenai berbagai kesulitannya dahulu.  Dan pada akhir perjumpaan, dia mengundang saya ke rumahnya sambil memberi sebuah kartu nama.  Tanpa pretensi, saya penuhi undangannya.  Memenuhi undangan orang lain, apalagi yang sudah kita kenal, adalah sunnah Rasul.

Apa yang saya lihat?  Ia sudah memiliki sebuah rumah, yang ketika saya kunjungi sedang dipugar.  Ia sudah memiliki sebuah kendaraan roda empat.  Di sakunya, terselip sebuah pesawat handphone seri terbaru.  Artinya, saat itu ia tidak dalam kondisi kesulitan keuangan.  Bahkan, menurut penilaian saya, tingkat ekonominya sudah lebih baik.

Cukup beralasan bagi saya untuk menagih pinjamannya dahulu.  Tapi, apa katanya?  Melintir!  Begitu banyak alasan yang diajukannya.  Tapi cuma satu intinya, dia belum (atau tidak) mau bayar.  Ketika saya tanya kemana perangkat usaha yang dulu saya berikan kepadanya, dia menjawab sudah dijual.  Saya tidak tahu, apa alasan yang membenarkan tindakannya itu!   Tak mau membayar hutang, dan bahkan menjual semua barang yang dulu dipinjam tanpa izin pemilik barang?

Dengan kelakuannya yang seperti itu, masih bisakah ia disebut orang baik?

Itu memang baru satu pengalaman, tetapi setidaknya bisa membuat saya yakin, uang adalah indikator yang cukup akurat untuk membuktikan, seseorang  itu baik atau bajingan.  Apalagi, pengalaman iitu sudah berulang terjadi ...


Comments