Kate Raworth dan Perusahaan Sosial



Kate Raworth menulis buku ekonomi yang sangat terkenal, Doughnut Economics: Seven Ways to Think Like a 21st-Century Economist. Ide untuk buku yang terbit di tahun 2017 itu sudah dibangun di sebuah makalah yang ditulis Raworth 5 tahun sebelumnya. Makalah, buku dan juga video TED Talk-nya membuat Raworth menjadi salah satu ekonom paling dihormati sekarang, bahkan mencapai status selebritas ilmu pengetahuan.

Ekonomi Donat dibangun dengan pendirian bahwa ekonomi hanya akan menjadi sehat apabila berada di antara pemenuhan kebutuhan dasar sosial (yang terdiri dari pangan, kesehatan, pendidikan, pendapatan dan pekerjaan, perdamaian dan keadilan, hak berpolitik, keadilan sosial, kesetaraan gender, perumahan, jejaring, energi, dan air) dan batas-batas ekologis (yaitu perubahan iklim, asidifikasi laut, polusi bahan-bahan kimia, konsentrasi nitrogen dan fosfor, pengambilan air tawar, konversi lahan, kehilangan keanekaragaman hayati, polusi udara, dan deplesi lapisan ozon).

Kabar buruknya adalah bahwa belum satupun kebutuhan dasar sosial itu terpenuhi secara merata,namun empat dari sembilan batas-batas ekologis itu sudah terlampaui. Ekonomi, karenanya, menjadi sangat sulit menjadi sehat, kecuali kalau seluruh pemangku kepentingannya bisa mengarahkannya menjadi kekuatan pemenuhan kebutuhan dasar sosial, sambil mengembalikan daya dukung ekologis. Ekonomi donat yang sehat harus bersifat regeneratif. Begitu pesan utama bukunya. Belakangan, Raworth juga kerap diminta untuk berbicara tentang peran perusahaan dalam mewujudkan Ekonomi Donat. 

Pada wawancara dengan Pioneers Post tanggal 31 Maret 2021 lalu dia menyatakan bahwa bisnis yang baik itu harus benar-benar dituliskan dalam DNA perusahaan. Apabila tidak, perusahaan hanya akan terus memungut nilai (value extraction), bukan benar-benar menciptakannya (value creation). Dia juga secara tegas menyatakan bahwa penciptaan nilai yang benar hanya terjadi pada bisnis yang menegakkan ekonomi regeneratif.

Lalu, apa yang disebut sebagai DNA perusahaan yang baik itu? Ada lima komponen untuk memeriksanya, yaitu tujuan perusahaan (purpose), jejaring mitra bisnis (networks), tata kelola (governance), kepemilikan (ownership) dan keuangan (finance). Begitu yang dinyatakan Raworth pada paparannya di konferensi Social Enterprise Futures 2020 lalu.

Tujuan perusahaan adalah jawaban atas pertanyaan bagaimana dunia menjadi lebih baik dengan kehadiran dan operasi perusahaan. Tetapi, jawaban tersebut bukan sekadar pernyataan tertulis yang dinyatakan oleh CEO dan ditaruh di website perusahaan, melainkan juga harus dilihat perwujudannya dalam seluruh keputusan dan tindakan perusahaan.

Apa yang dilakukan perusahaan terhadap mitra bisnisnya adalah hal yang sangat penting. Perusahaan yang baik akan memiliki perilaku yang memastikan pertumbuhan kesejahteraan bersama dengan mitra- mitranya itu. Isu terpenting dalam tata kelola perusahaan adalah siapa saja yang dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan, serta apakah keputusan-keputusan yang diambil tersebut benar-benar mencerminkan tujuan perusahaan. Perusahaan yang baik jelas akan melibatkan seluruh pemangku kepentingan yang relevan, dan keputusan-keputusannya benar-benar sejalan dengan tujuan yang telah dinyatakan.

Kepemilikan akan mencerminkan siapa saja yang mendapatkan manfaat dari keuntungan yang diperoleh perusahaan. Perusahaan bisa dimiliki oleh pemodal terbatasnya saja, atau bisa dimiliki oleh pemegang saham yang lebih luas, termasuk pekerjanya. Sementara, keuangan perusahaan bukan saja tentang jumlah modal yang dimiliki, dan keuntungan yang dihasilkan, melainkan juga tentang bagaimana keuntungan itu dihasilkan dan dimanfaatkan.

Menimbang keseluruhan komponen DNA perusahaan, Raworth menegaskan bahwa perusahaan sosial jelas mengandung DNA yang baik. Namun, untuk memastikan kesuksesan perusahaan sosial Raworth menyatakan pentingnya regulasi yang secara konsisten memihak pada keberlanjutan. “Countries need laws that protect environmental resources and actually give an incentive to enterprises to be carbon efficient and to drive circularity, so that social enterprises succeed because they’re social enterprises, not despite being social enterprises.” Ini adalah pesan penting untuk pemerintahan seluruh negara. Termasuk Indonesia, tentu saja, kalau menginginkan perusahaan sosialnya bisa berperan makin besar dalam pembangunan berkelanjutan.

Sudah dimuat di harian Kontan, 15 April 2021

Saya tulis artikel ini bersama mas Jalal – Pendiri dan Komisaris, Perusahaan Sosial WISESA

Comments