Indonesia 4.0



Indonesia sedang keranjingan angka 4.0.  Berbagai kolom di media massa membahas soal itu.  Bahkan seminar, workshop dan lokakarya terkait hal itu pun sudah dilaksanakan di berbagai level.  Sejumlah tokoh mengusulkan istilah yang cocok buat semangat itu : Indonesia 4.0.


Gairah itu semestinya ditanggapi bukan dengan meletup-letup, tapi justru dengan berhati-hati.  Selain peluang besar yang dihadirkan era Industri 4.0 bagi kehidupan masyarakat yang lebih baik, ada juga ancaman dari munculnya sejumlah teknologi yang mengikutinya.   Di luar peluang dan ancaman, ada juga sisi gelap, yang baru akan terungkap di 2025, saat dunia masuk di era Industri 4.0 itu.


Klaus Schwab, pendiri World Economic Forum, mengungkapkan bahwa teknologi 4,0 merupakan pisau dengan dua sisi yang sama tajamnya.  Jika tidak dikendalikan, era ini justru akan menghasilkan ketimpangan yang jauh lebih tajam dibanding yang kini sedang terjadi.  Kalau ini yang terjadi, betapa mengerikannya kehidupan di tahun 2025 mendatang.


Tahun 2017, Tim O’Reilly, menerbitkan buku fenomenalnya, WTF: What’s the Future and Why It’s Up to Us.  Dia membagi era teknologi 4.0 dalam empat kuadran.  Pada sumbu x ada dua bagian, yaitu (1) ‘teknologi mengambil alih pekerjaan manusia’ dan (2) ‘teknologi memungkinkan penciptaan pekerjaan baru’.  Pada sumbu y ada (1) ‘teknologi dioptimalkan untuk pemiliknya’ dan (2) ‘teknologi dioptimalkan untuk kebaikan semua orang’.  Menurut O’Reilly, kombinasi mana yang mau didapat dengan Teknologi 4.0, adalah pilihan kita sendiri.


Teknologi 4.0 seolah menjadi sebuah puncak gunung es, yang tampak muncul di permukaan.  Di bawahnya ada Industri 4.0, yang disusul dengan Ekonomi 4.0.  Masyarakat 4.0 ada di bagian paling dasarnya.  Walau tak tegas menyatakan sebagai Ekonomi 4.0, John Fullerton merumuskannya sebagai era Ekonomi Regeneratif. Di era ini, ekonomi tidak sekedar mencegah dampak buruk bagi masyarakat dan lingkungan, tapi justru memerbaiki kerusakan yang sudah timbul, sekaligus meningkatkan daya dukung alam terhadap masyarakat.


Senada dengan Fullerton, Kate Raworth, penulis buku Doughnut Economics: Seven Ways to Think Like a 21st Century Economist, merumuskan, ekonomi masa depan semestinya bersifat regeneratif sekaligus redistributif.   Menurutnya, ekonomi seharusnya menjadi cara terbaik untuk memastikan bahwa fondasi sosial masyarakat yang berkelanjutan— mencakup kesehatan, kesetaraan gender, keadilan sosial, energi, pekerjaan, partisipasi politik, resiliensi, pendidikan, pendapatan, air, dan ketersediaan pangan— bisa terwujud.


Seperti diungkap Raworth, tantangan paling berat adalah, ekonomi harus memastikan semua pencapaian itu berada dalam batas-batas daya dukung alam, atau planetary boundaries, yang mencakup perubahan iklim, asidifikasi laut, deplesi ozon, siklus nitrogen dan fosfor, pemanfaatan air tawar, perubahan sistem lahan, laju kehilangan keanekaragaman hayati, kadar aerosol di atmosfer, dan polusi bahan kimiawi.  Kabar buruknya,  saat ini empat dari batas-batas itu sudah terlampaui.   


Bagaimana cara kita mengembalikan daya dukung alam itu?  Raworth memberi solusi dalam TED Talk berjudul A Healthy Economy Should be Designed to Thrive, Not Grow (April 2018).  Salah satu kekuatan terpenting dalam ekonomi masa depan adalah bisnis sosial, ujar Raworth.  Otto Scharmer, sang penemu Teori U, pun mengamininya.  Jadi, tunggu apa lagi?


           


Comments