Bisnis Sosial dan BoP – Bagian Keempat


Tulisan pertama kami pada seri tulisan ini mengungkapkan bahwa perusahaan komersial maupun sosial yang ingin menerapkan strategi bisnis dengan kelompok-kelompok miskin—secara umum disebut strategi Bottom of the Pyramid atau BoP—akan menghadapi tantangan kapabilitas. Secara detail, ada 22 kapabilitas yang perlu dikembangkan, termasuk kapabilitas konsumsi, model bisnis, manajemen, dan inovasi (Nobre dan Morais-da-Silva, 2021).

Hal yang sangat penting sebagai kunci pengembangan beragam kapabilitas itu adalah bagaimana perusahaan memahami kompleksitas isu-isu kemiskinan yang dihadapi oleh mitra bisnisnya. Perusahaan yang melihat kemiskinan sebagai persoalan individu, ekonomi, kultural, atau multidimensional akan mengembangkan beragam cara untuk bekerja dengan kelompok miskin yang berbeda-beda (Grimm, akan terbit). Perbedaaan tersebut kami diskusikan pada tulisan kedua.

Pada tulisan ketiga, kami menunjukkan bahwa bisnis konvensional cenderung memiliki perhatian pada tujuan tunggal, yaitu meningkatkan atau memaksimumkan keuntungan bagi pemilik modalnya. Dengan begitu, ide untuk memasukkan kelompok miskin ke dalam rantai pasokan, meningkatkan kapasitas mereka, lalu tumbuh bersama-sama, kerap dipandang sebagai beban. Sementara, bisnis berkelanjutan malah melihat masuknya kelompok miskin ke dalam rantai pasokan sebagai bagian dari strategi peningkatan manfaat sosial, sekaligus bermanfaat untuk keberlanjutan bisnis dalam jangka panjang. Strategi BoP, karenanya, memang hanya bisa bekerja pada perusahaan yang memiliki model bisnis yang berkelanjutan (Dembek dan York, 2020).

Kami ingin menutup seri tulisan tentang BoP ini dengan beberapa butir pemikiran yang menurut kami sangat relevan untuk Indonesia di masa sekarang dan di masa mendatang. Pertama, BoP sangatlah relevan untuk diterapkan di Indonesia, mengingat bahwa kelompok miskin di Indonesia jumlahnya masih besar. Sebagaimana yang telah banyak ditunjukkan, mereka adalah kelompok-kelompok yang produktif, dan memiliki sejumlah atribut positif lainnya yang bisa dimanfaatkan untuk menolong diri mereka sendiri.

Kedua, memasukkan kelompok miskin ke dalam rantai bisnis juga semakin relevan, mengingat jumlah dan proporsi mereka mungkin sedang membesar lantaran COVID-19 yang sedang dan masih akan terus melanda Indonesia hingga beberapa waktu ke depan. Dengan membesarnya kelompok ini, sudah sepantasnya perhatian kepada mereka juga ditingkatkan. Perhatian tersebut bukanlah dengan menganggap mereka sebagai objek belas kasihan, melainkan sebagai calon mitra ko-kreasi nilai dalam bisnis.

Ketiga, dengan menguatnya keberlanjutan sebagai wacana dan praktik bisnis di Indonesia, maka BoP yang merupakan salah satu model bisnis yang kompatibel dengan tujuan keberlanjutan, akan menarik perhatian seluruh pemangku kepentingan. Perusahaan yang menerapkan strategi atau model bisnis BoP akan mengirimkan sinyal kepada para pemangku kepentingan bahwa mereka bersungguh-sungguh dalam keberlanjutan, karena BoP memang merupakan strategi bisnis inti, bukan sekadar berada di pinggiran.

Keempat, BoP sendiri bisa digabungkan dengan strategi bisnis lainnya. Kini Kementerian BUMN menganjurkan pemanfaatan Creating Shared Value (CSV) untuk melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. CSV sangat mirip dengan BoP, walaupun tidak menekankan bahwa kelompok masyarakat yang menjadi mitra bisnis adalah kelompok miskin. CSV hanya menekankan pada lokalitas. Namun demikian, menggunakan strategi BoP dengan benar juga bisa membuat perusahaan menegakkan CSV. Pendekatan lainnya yang juga semakin penting, bisnis inklusif, juga akan terbantu dengan penerapan BoP.

Kelima, salah satu pemangku kepentingan yang perlu menjadi sasaran komunikasi dan pembinaan hubungan dalam penerapan BoP adalah generasi muda—baik Milenial maupun Generasi Z. Mereka adalah generasi yang diketahui memiliki kepedulian sosial (dan lingkungan) lebih baik dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Perusahaan yang menerapkan BoP, lalu mengomunikasikan kebijakan, strategi, dan kinerjanya, akan memenangkan perhatian generasi muda. BoP bisa dimanfaatkan untuk memenangkan persaingan dalam menarik pekerja berkualitas maupun pelanggan yang loyal.

Terakhir, perusahaan sosial, yang memang sedari awal memiliki kepedulian lebih dalam kepada kelompok-kelompok miskin, memanfaatkan model-model bisnis yang inklusif dan berkelanjutan, sesungguhnya telah lama menerapkan strategi BoP, walau mungkin tanpa menyadarinya. Kini, dengan popularitas perusahaan sosial yang semakin menanjak di Indonesia, BoP penting untuk diadopsi secara lebih sadar dan tertib, sehingga kelompok-kelompok miskin di Indonesia bisa turut disejahterakan — bukan disengsarakan — melalui mekanisme pasar, dan cita-cita menghilangkan kemiskinan bisa tercapai.


Sudah dimuat di harian Kontan, 17 Juni 2021

Saya tulis artikel ini bersama mas Jalal - Pendiri dan Komisaris, Perusahaan Sosial WISESA

Comments