Tantangan Bisnis Sosial di Indonesia

Indonesia sebetulnya sudah cukup lama mengenal bisnis dengan tujuan sosial. Koperasi telah hidup di Indonesia sejak sebelum kemerdekaan. Mohammad Hatta, salah satu founding fathers Indonesia, adalah seorang pakar ekonomi yang dijuluki Bapak Koperasi. Tetapi kalau kita simak tulisan-tulisannya secara lebih mendalam, sesungguhnya banyak ide yang sangat terkait dengan apa yang sekarang disebut sebagai bisnis sosial.

Sayangnya, Indonesia tak terlampau serius dalam mengembangkan ide-ide ekonomi yang demikian, sampai beberapa tahun lampau. Mungkin lantaran kita sedemikian lamanya alpa menggali dan mengembangkan pemikiran Hatta, hingga kini beragam tantangan atas bisnis sosial masih kita hadapi. Ketika seluruh dunia menaruh perhatian pada kemunculan bisnis sosial—yang sangat berhutang pada popularitas Muhammad Yunus setelah diganjar Nobel Perdamaian—barulah mulai banyak pemangku kepentingan di Indonesia yang mencari lagi, ke dalam maupun ke luar, ide-ide yang relevan untuk menjawab berbagai persoalan yang dihadapi oleh masyarakat lewat mekanisme pasar.

Apa yang kita saksikan di lapangan sangatlah menarik. Memang banyak pelopor bisnis sosial di Indonesia yang terpapar oleh pengetahuan dan keterampilan yang berasal dari luar Indonesia. Lantaran organisasi seperti British Council sangat berkomitmen untuk menyebarluaskan pengetahuan dan keterampilan terkait, maka banyak yang menjadi terpapar pada pengetahuan dan keterampilan bisnis sosial lewat jasa British Council. Banyak juga mereka yang terpapar lantaran sebelumnya belajar dan bekerja di luar negeri, lalu membawa ide itu ke Indonesia. Tetapi, banyak sekali bisnis sosial yang sesungguhnya benar-benar dijalankan tanpa paparan atas teori dan konsep asing. Bahkan, ada banyak wirausahawan sosial yang tak tahu istilah yang tepat bagi bisnis mereka.

Melihat situasi yang demikian, kemudian banyak organisasi yang didirikan untuk mendorong perkembangan bisnis sosial. Di antara mereka ada yang berfungsi sebagai pendamping dalam berbagai tahap perkembangan bisnis sosial. Ada pula yang berisikan kumpulan investor yang memiliki selera untuk berinvestasi di bisnis sosial. Pemerintah juga memiliki beberapa inisiatif untuk mendorong mereka, walau hingga sekarang belum ada kebijakan dan regulasi khusus yang dibuat khusus untuk akselerasi perkembangan bisnis sosial.

Kini, menurut hasil penelitian British Council yang dipublikasikan akhir tahun 2018, ada hampir 350.000 perusahaan sosial di Indonesia. Para pebisnis sosial ini kebanyakan merentang usianya mulai dari 18 hingga 44 tahun, dengan dominasi 25 hingga 34 tahun. Di puncak perusahaan sosial, lelaki dan perempuan hampir sama banyaknya; namun bila seluruh tenaga kerjanya dihitung, perempuan menempati hampir 70%-nya.

Laporan British Council tersebut bertajuk Developing and Innclusive and Creative Economy—The State of Social Enterprise in Indonesia. Pada laporan itu juga disebutkan bahwa para pebisnis sosial melaporkan lima jenis tantangan yang mereka hadapi. Berturut-turut tantangan itu adalah lack of capital, difficulties in obtaining grant/funding, shortage of managerial skills, difficulties in recruiting other staff, serta low production capacity.

Apa yang kami amati di lapangan selama beberapa tahun belakangan mengkonfirmasi data tersebut, walaupun kami tak akan menempatkan tantangan keuangan sebagai yang paling atas. Menurut kami, lantaran fenomena ini relatif baru, maka pemahaman para pebisnis sosial serta investor masih sangat terbatas. Dan hal ini adalah tantangan yang lebih penting untuk diselesaikan terlebih dahulu. Kalau banyak di antara wirausahawan akrab dengan business canvas model, kami melihat fenomena bahwa para pebisnis sosial di Indonesia masih banyak yang menggunakan model standar. Padahal, modifikasinya yang untuk bisnis sosial sudah banyak dibuat.

Kekurangan keterampilan manajerial dan kesulitan merekruit staf juga terkait dengan hal ini. Hingga sekarang perguruan tinggi di Indonesia belumlah secara serius mendidik para calon pebisnis sosial. Kurikulum pendidikan manajemen masih saja menjadi reproduksi pengetahuan dan keterampilan bisnis yang kapitalistik. Padahal, sebagaimana yang kami saksikan, minat para mahasiswa di tingkat sarjana dan master untuk terhadap bisnis sosial sangatlah tinggi.

Penting untuk diingat bahwa bisnis sosial beroperasi dengan tujuan yang dinyatakan oleh Jed Emerson sebagai blended value, tujuan (keuntungan) ekonomi dan tujuan (dampak) sosial yang diyakini saling menguatkan. Kita tahu bahwa bisnis yang memiliki tujuan maksimisasi keuntungan saja tidaklah mudah untuk mencapai kesuksesan berdasarkan ukuran tunggal tersebut. Sudah pasti tantangan untuk membuat dan mensukseskan bisnis yang mau mencapai dua tujuan secara seimbang itu lebih tinggi lagi.

Terkait dengan hal tersebut adalah tantangan pengukuran bagi kedua tujuan tersebut. Mengukur kinerja ekonomi itu relatif mudah, lantaran standar akuntansi dan keuangan sudah sangat mapan. Sebaliknya, pengukuran dampak tidaklah mudah. Kalau hanya pada level output, mengukur kinerja itu mudah. Ketika mau lebih jauh, pada level outcome, itu sudah akan menantang. Tetapi, yang paling jauh yaitu mengukur impact, adalah hal yang kompleks. Pengkuran impact atau setidaknya outcome sangatlah penting bagi bisnis sosial, lantaran banyak investor dan pemangku kepentingan lainnya yang benar-benar ingin tahu, sehingga keterbatasan dalam hal ini akan membuat investasi lebih sulit diperoleh.

Demikianlah senarai tantangan bisnis sosial di Indonesia. Tulisan berikutnya akan bicara tentang peluang-peluang yang ada.

Telah dimuat di harian Kontan, 28 11 2019

Saya tulis artikel ini bersama mas Jalal – Pendiri dan Komisaris, Perusahaan Sosial WISESA 

Comments