Sekolah Bisnis Sosial – Bagian Pertama

Dengan perkecualian Magister Manajemen Community Enterprise (MM-CE) di Universitas Trisakti, pendidikan formal bisnis sosial tetap sulit didapatkan di dalam negeri. Seminar, lokakarya, dan pelatihan memang sudah tersedia, namun pendidikan formal masihlah sangat langka. MM-CE tersebut memang suatu kemajuan luar biasa. Bukan sekadar di tingkat nasional, melainkan juga regional bahkan global. Kebanyakan sekolah bisnis terkemuka kini memang sudah memiliki konsentrasi, pusat, maupun inisiatif bisnis sosial; tetapi belum juga mencapai derajat formal sebagaimana MM-CE.

Salah satu sekolah bisnis yang memiliki inisiatif bisnis sosial sejak lama adalah Harvard Business School (HBS). Tahun 2018, mereka merayakan ulang tahun ke- 25 HBS Social Enterprise Initiative (SEI), setelah merasakan perlunya inisiatif tersebut sejak awal dekade 1980an. Dua di antara para penggagasnya, James Austin dan Kasturi Rangan menuliskan artikel Reflections on 25 Years of Building Social Enterprise Education, yang bakal terbit di Social Enterprise Journal.

Austin dan Rangan menuliskan bahwa dalam 25 tahun, mereka melihat bahwa perkembangannya telah melalui 5 tahapan, yang mereka sebut sebagai kelahiran, eksperimen, penerimaan awal, penerimaan penuh, dan tak- terbalikkan. Kelahiran SEI di tahun 1993 mereka gambarkan sebagai menyakitkan, melelahkan, namun menyenangkan bagi seluruh yang terlibat di dalamnya. Mereka sudah mengandungnya sejak satu dekade sebelumnya, dan kelahiran itu hanyalah soal waktu yang tak lagi bisa ditunda lantaran demikian tuntutan para pemangku kepentingan terhadap HBS.

Eksperimen yang dilakukan oleh para akademisi dan mahasiswa HBS itu utamanya ditandai dengan kepercayaan terhadap potensi para mahasiswa yang bakal memecahkan beragam masalah yang dihadapi masyarakat lewat mekanisme pasar. Para mahasiswa itu dididik untuk melihat bahwa setiap masalah sesungguhnya adalah peluang bisnis. Mereka juga dipertemukan dengan para investor yang percaya bahwa pendidikan HBS pasti tidak main- main, walaupun pendekatannya baru dan belum banyak contohnya.

Tahap Penerimaan Awal terjadi ketika eksperimen yang dilakukan pada tahap sebelumnya telah menunjukkan hasil yang semakin positif. Para mahasiswa merespons dengan antusiasme yang meningkat. Para akademisi lain mulai terlibat dalam akademisian dan penelitian yang memiliki potensi untuk publikasi. Alumni mulai melihatnya sebagai bidang baru yang menarik dan penting, sementara mereka yang telah menjalani bisnis sosial melihat cara untuk memvalidasi jalur karier mereka.

Penerimaan Penuh ditandai dengan para mahasiswa mulai membuat kegiatan tambahan, di luar yang diajarkan di HBS. Para akademisi senior dan junior mencari peluang untuk berpartisipasi dalam program ini, dan beragam kursus baru muncul dari mereka, untuk ditawarkan kepada para mahasiswa dan eksekutif perusahaan sosial. Para praktisi bisnis sosial mengenali manfaat dari kursus dan penelitian baru yang dilakukan HBS. Alumni dan investor mulai memberikan dukungan keuangan yang semakin meningkat. Sementara, pimpinan HBS dan Universitas Harvard semakin kerap merujuk pada bidang baru kegiatan program ini dalam komunikasi mereka dengan pemangku kepentingan internal dan eksternal. Kisah-kisah menarik pebisnis sosial yang lahir dari rahim pendidikan dan pelatihan HBS pun semakin terkenal.

Akhirnya, Austin dan Rangan percaya bahwa SEI di HBS telah sampai pada tahap Tak-Terbalikkan. Di tahapan ini, kewirausahaan sosial dipandang sebagai salah satu misi terpenting sekolah bisnis. Para calon mahasiswa melihat bisnis sosial sebagai aspirasi penting yang disampaikan dalam proses penerimaan, dan SEI sebagai salah satu alasan utama memilih HBS. Para akademisi sudah melihat bidang ini diakui sebagai bidang studi yang sah dan penting, dan mengintegrasikannya ke dalam kurikulum, dan menawarkannya secara mencolok sebagai bagian program pendidikan formal dan pelatihan eksekutif. Alumni dan investor pun bahu-membahu menciptakan peluang pembiayaan bagi mahasiswa yang ingin mewujudkan rencana bisnis sosialnya.

Demikianlah, HBS telah menunjukkan bahwa bisnis sosial telah diterima sebagai cara berbisnis dan kewirausahaan sosial adalah bidang kajian manajemen yang penting. Hal itu tercapai dalam setidaknya dua dekade, dengan perjuangan yang tidak ringan. Kalau Indonesia, dan negara manapun, ingin serius membangun bisnis sosial sebagai salah satu alat memecahkan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat, sekolah-sekolah bisnis di sini perlu untuk memelajari apa yang sudah dicapai di HBS. Bagian kedua tulisan ini akan membahas beragam tantangan yang dihadapi HBS dalam mengarusutamakan pendidikan bisnis sosial.

Telah dimuat di harian Kontan, 17 01 2019

Saya tulis artikel ini bersama mas Jalal – Pendiri dan Komisaris, Perusahaan Sosial WISESA

Comments