Sekolah Bisnis Sosial – Bagian Kedua

Kalau tulisan kami pada bagian pertama menjelaskan tentang tahapan yang ditempuh Harvard Business School (HBS) dalam mengembangkan Social Enterprise Initiative (SEI)—sebagaimana yang diuraikan oleh James Austin dan Kasturi Rangan dalam artikel Reflections on 25 Years of Building Social Enterprise Education—pada bagian kedua ini kami menguraikan apa yang mereka nyatakan sebagai tantangan utama sepanjang 25 tahun inisiatif tersebut.

Tantangan pertama terkait dengan sifat bisnis sosial yang merupakan fenomena yang multifungsi dan harus dipelajari secara multidisiplin. Bisnis sosial yang hendak memecahkan berbagai masalah di masyarakat sesungguhnya bukan ‘sekadar’ bisnis, melainkan juga gerakan sosial. Sudut pandang ilmu pengetahuan untuk melihatnya perlu merefleksikan kondisi mendasar tersebut. Masalahnya, tentu saja, pada tahap awal adalah belum adanya akademisi yang secara penuh mendedikasikan dirinya di dalam bidang baru ini. Maka, menggunakan ‘pemain cabutan’ harus dilakukan di tahap awal tersebut, untuk kemudian membuat kelompok yang semakin fokus pada riset dan pengajaran bisnis sosial.

Berikutnya, tantangan kedua, adalah mengarusutamakan bisnis sosial ke dalam kurikulum sekolah bisnis. Sebagaimana pada umumnya, sekolah bisnis sudah penuh dengan mata kuliah prasyarat di tahun pertama. Oleh karena sangat sulit memasukkan mata kuliah baru, maka bisnis sosial ditawarkan sebagai bagian dari beragam topik terkait higher purpose, atau tujuan mulia dari bisnis. Dengan membesarnya minat pada mata kuliah pilihan itu, jelas bahwa pengarusutamaan tampak mendekati tujuan.

Tantangan ketiga terkait dengan perlu atau tidaknya mendapatkan status sebagai departemen atau unit di bawah HBS. Ada keuntungan dan kerugian dari status tersebut, demikian juga pada memertahankan status sebagai inisiatif. Namun, kemajuan-kemajuan yang sudah dicapai dalam 25 tahun membuktikan bahwa status sebagai inisiatif ternyata jauh melampaui ekspektasi, dan diyakini pula jauh lebih baik dibandingkan apabila statusnya departemen. Fleksibilitas, kecepatan tumbuh, dan lebih cocok dengan sifat kewirausahaan adalah

keuntungan besar—sementara kerugiannya hanya tak bisa memiliki staf dengan status sepenuhnya hanya terkait dengan inisiatif ini.

Terakhir, sebagai inisiatif yang memberikan visi tentang tujuan mulia dari bisnis, Austin dan Rangan melihat inisiatif ini sepeti perjalanan yang tujuan akhirnya belum bisa ditentukan. Mereka menyatakan, memelesetkan kalmat terkenal dari serial Star Trek, “these are voyages of the Starship Social Enterprise; its mission is to go where no one has gone before.” Secara intuitif mereka menyatakan bahwa tempat yang dituju adalah “...the core of a business school to be transformed to that higher purpose of putting society at the center.” Menjadi sekolah bisnis yang menempatkan masyarakat sebagai pusatnya adalah gambaran yang berani dan sangat manantang. Tantangan ini, tentu saja belum benar-benar bisa dijawab dengan memuaskan. HBS belumlah begitu.

Dengan tantangan-tantangan itu, apa saja hal yang menurut Austin dan Rangan bisa menjawabnya? Pertama, adalah mengembangkan mata kuliah yang membawa pengalaman luar biasa bagi mahasiswa MBA dan pendidikan eksekutif. Ini menarik akademisi untuk terlibat lebih dalam, sekaligus menjadi ujian pasar atas produk SEI. Kedua, mendorong dan membantu fakultas untuk melakukan penelitian dan mempublikasikan hasilnya yang akan memajukan bisnis sosial sebagai bidang akademik, dan berkontribusi signifikan pada praktiknya. Ini sesungguhnya adalah ujian apakah bidang bisnis sosial bisa menghasilkan pengetahuan baru yang menjanjikan.

Ketiga, memberikan dukungan komprehensif bagi para mahasiswa dan peserta pendidikan eksekutif dalam mewujudkan peluang tertinggi untuk belajar tentang dan terlibat penuh dalam bidang usaha sosial. Bukti akademik adalah pengetahuan yang mumpuni, sementara bukti praktiknya adalah bisnis sosial yang berhasil mencapai tujuan sosial dengan kinerja keuangan yang memuaskan. Keempat, melibatkan para praktisi bisnis sosial terkemuka di dalam mengembangkan SEI, belajar dari pengalaman mereka, dan berkontribusi pada pencapaian berbagai perusahaan sosial yang mereka kelola.

Kelima, menghubungkan dan memobilisasi alumni untuk mendukung dan terlibat, termasuk mendirikan berbagai usaha sosial. Terakhir, melakukan kolaborasi dengan semua entitas operasional HBS yang dapat berkontribusi pada pengalaman usaha sosial mahasiswa sepanjang waktu mereka di HBS.

Sekolah-sekolah bisnis di manapun, termasuk di Indonesia, tentu bisa belajar banyak dari apa yang sudah dilalui salah satu sekolah bisnis terbaik di dunia itu.

Dengan segudang permasalahan ekonomi, sosial, dan lingkungan di negeri ini, peluang bisnis sosial berkembang di sekolah-sekolah bisnis sesungguhnya sangat menjanjikan.

Telah dimuat di harian Kontan, 31 01 2019

Saya tulis artikel ini bersama mas Jalal – Pendiri dan Komisaris, Perusahaan Sosial WISESA

Comments