Indonesia memiliki posisi yang unik di dunia. Terletak di antara dua benua dan dua samudera, menjadikan negeri zamrud khatulistiwa ini sebagai urat nadi perekonomian dunia. Garis pantainya terpanjang di dunia, nomor dua setelah Kanada. Selain itu, negeri ini juga berada di Pacific Ring of Fire.
Dua hal yang disebut terakhir, membuat Indonesia rawan akan bencana alam. Gempa bumi, letusan gunung berapi maupun ancaman tsunami, bisa muncul kapan saja tanpa bisa diperkirakan sebelumnya secara presisi. Banjir dan tanah longsor akibat berbagai aktivitas yang tidak memerhatikan faktor lingkungan, dan perubahan iklim, melengkapinya.
Sebelum terjadinya tsunami di Selat Sunda, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, sepanjang 2018 terjadi 2.436 kejadian yang berpotensi bencana. Termasuk di dalamnya meletusnya Gunung Agung di Bali, gempa bumi di Lombok, serta tsunami dan likuifaksi di Palu.
Beruntung, masyarakat Indonesia gemar menolong dan suka bergotong-royong. Setiap kali terjadi, bantuan dalam bentuk logistik dan lainnya segera mengalir ke lokasi bencana. Banyak relawan dengan sukarela datang membantu pada fase tanggap bencana.
Idealnya, setelah itu aksi berlanjut ke fase pemulihan. Rumah-rumah yang roboh, dibangun kembali. Juga gedung perkantoran, sekolah dan sarana kesehatan. Yang kerap terlupakan adalah pemulihan aktivitas ekonomi termasuk pengembangan pasar dan sentra industri. Pemulihan ekonomi itu seyogianya dilakukan menyusul selesainya fase tanggap bencana. Terlalu lama membiarkan para korban berada di tempat pengungsian, dengan bantuan logistik yang terus-menerus, juga tidak bijak.
Ketika bencana terjadi, perekonomian di lokasi tersebut umumnya lumpuh. Ini merupakan peluang besar untuk menggerakkan bisnis sosial di dalam masyarakat. Usaha-usaha yang rusak atau hancur karena bencana, dibangun kembali dengan suntikan dari lembaga donor.
Tetapi hal itu bukan lagi yang utama. Pengalaman di beberapa negara yang juga sering dilanda bencana, menunjukkan geliat bisnis sosial bisnis yang sangat terasa. Tak sekedar menyalurkan bantuan berupa bahan makanan, pakaian dan perumahan, perusahaan-perusahaan sosial muncul untuk mendorong dan menggerakkan kembali perekonomian masyarakat.
Dompet Dhuafa, sebuah lembaga filantropi Islam di Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir terus berupaya menghidupkan sektor ekonomi yang sempat mati suri di wilayah bencana, mengikuti berbagai contoh build back better yang kini menjadi praktik terbaik pascabencana di seluruh dunia. Penggilingan padi, kebun cokelat, serta sejumlah bengkel kendaraan bermotor dibangun dan dioperasikan kembali.
Bengkel-bengkel yang rusak parah bahkan ambruk total akibat gempa, dibangun kembali. Peralatan dan suku cadang dibantu pengadaannya. Pelatihan teknis perbengkelan serta manajemen juga dilakukan berdasarkan lessons learned yang sudah dimiliki lembaga. Laporan kemajuan bengkel secara rutin sudah bisa didapat dan dilaporkan kepada seluruh pemangku kepentingan.
Beberapa bengkel dijalin menjadi sebuah paguyuban. Pertemuan rutin dilakukan untuk membahas perkembangan dunia perbengkelan. Pembelanjaan alat dan suku cadang dilakukan bersama-sama. Tujuannya untuk menekan harga. Dengan demikian, bengkel-bengkel itu bisa menjual suku cadang kepada konsumen dalam situasi pascabencana dengan harga lebih murah, namun pengelola bengkel tepat mendapat untung. Win-win solution. Dan ekonomi kembali menggeliat.
Yang menarik, bentuk bantuannya bukan hibah, tapi penyertaan modal. Lembaga juga memberikan asistensi dan pendampingan, sampai usaha tersebut bisa berjalan stabil, menguntungkan dan berkembang. Pada masanya nanti, penyertaan modal dan keuntungannya akan diserahkan kepada lembaga sosial lokal sebagai bagian dari redistribusi aset.
Dompet Dhuafa ini memang bukan satu-satunya lembaga yang menggunakan logika bisnis sosial untuk memulihkan kondisi ekonomi dan sosial setelah terjadinya bencana. Namun, sangat jelas di lapangan, logika ini perlu sekali diadopsi oleh semakin banyak pihak. Tanggap bencana segera setelah kejadian memang penting; namun membangun ekonomi yang tangguh setelahnya tentu lebih penting lagi. Bagaimanapun, masyarakat harus dimandirikan kembali.
Telah dimuat di harian Kontan, 03 01 2019
Saya tulis artikel ini bersama mas Jalal – Pendiri dan Komisaris, Perusahaan Sosial WISESA
Comments
Post a Comment