Pemimpin Bisnis yang Tercerahkan

Salah satu buku bisnis yang sangat kuat pengaruhnya sepanjang tahun 2019 agaknya adalah The Enlightened Capitalists: Cautionary Tales of Business Pioneers Who Tried to Do Well by Doing Good. Pengarangnya, James O’Toole, adalah salah satu tokoh penting dalam bidang etika bisnis dan memegang jabatan profesor emiritus di Marshall School of Business, University of Southern California.

Buku tersebut bukan saja diresensi di berbagai media massa bisnis terkemuka seperti The Financial Times dan The Wall Street Journal, melainkan juga bab terakhirnya dipublikasikan ulang di jurnal manajemen terkemuka yang diterbitkan oleh Hass Business School, University of California Berkeley, California Management Review Vol. 61/3 2019, dengan tajuk The Prospects for Enlightened Corporate Leadership.

Mungkin kebanyakan orang berpikir bahwa para pemimpin bisnis yang tercerahkan, yang menurut O’Toole ditandai dengan tekad “to address social problems primarily through their business practices, rather than by acts of charity or philanthropy,” adalah fenomena yang baru. Tetapi sejarah yang dipaparkan O’Toole menunjukkan bahwa prasangka itu keliru.

Robert Owen yang hidup antara tahun 1771 hingga 1858 adalah salah satu di antara pebisnis yang demikian. Demikian juga Levi Strauss (1829-1902), dan William Lever (1851-1971). Kisah-kisah para pemimpin perusahaan dari abad 18 itu dirajut hingga masa kini, termasuk kisah tentang Anita Roddick (1942-2007) sang pendiri The Body Shop, dan Ben Cohen (1951- ) yang mendirikan kerajaan es krim Ben & Jerry’s.

Seluruh kisah yang dipaparkan itu mungkin tak asing buat sejarawan manajemen. Namun, buat kebanyakan orang akan sangat mencengangkan. Pemahaman para pemimpin bisnis atas tantangan yang dihadapi masyarakatnya, lalu kengototan mereka untuk menjawabnya lewat bisnis yang mereka dirikan sangatlah membuka mata. Dan O’Toole tak cuma bertutur soal kegemilangan mereka, melainkan juga soal tantangan yang mereka semua hadapi dan bagaimana akhirnya tantangan itu dapat mereka jawab.

Menjadi pemimpin bisnis yang sukses tidaklah mudah. Apalagi, bila mereka memulainya dengan tekad untuk memecahkan tantangan yang dihadapi masyarakat dengan bisnisnya. Sebagaimana yang dituliskan di penghujung artikelnya di California Management Review, “In conclusion, both the historical and contemporary evidence reveals that it is hard for businesspeople to do good. Alas, it is especially hard for the leaders of publicly traded companies.

Tetapi, apakah pesan O’Toole membawa pesimisme kepada generasi baru pebisnis? Sebaliknya, O’Toole menyatakan optimisme lantaran enam kecenderungan yang ia saksikan dalam dunia bisnis mutakhir—di samping kisah- kisah yang menginspirasi dari masa lalu yang ia sudah ceritakan itu.

Pertama, para pemimpin bisnis paling terkemuka di masa kini—seperti Howard Schultz, Marc Benioff, Tim Cook, Indra Nooyi, Paul Polman, dan John Mackey— menunjukkan bahwa mereka adalah pewaris ‘tradisi’ yang dituliskan O’Toole itu. Bahkan, banyak di antara pemimpim bisnis masa kini yang berani menjawab tantangan yang lebih besar, sesuai dengan zamannya. Kedua, munculnya kesadaran bahwa perusahaan-perusahaan teknologi sesungguhnya memiliki dampak negatif yang tadinya tak pernah diperhatikan. Hilangnya privasi, pencurian data, munculnya Kapitalisme Pengawasan (Surveillance Capitalism) kini sudah diperbincangkan secara terbuka, dan mulai dicarikan jalan keluarnya. Bukan hanya itu, sekarang banyak bisnis yang dibuat dengan memanfaatkan teknologi informasi bagi kebaikan semua orang. Jadi, gambaran distopia mulai ditepis dan dikekang di sektor ini, lalu mulai berganti dengan alternatifnya yang lebih baik.

Ketiga, banyak konsorsium bisnis diciptakan di antara mereka yang memiliki pemikiran yang sejalan. Dengan demikian, kekuatannya bisa dikonsolidasikan hingga menjadi lebih besar. Keempat, masih terkait dengan yang ketiga, adalah munculnya banyak wirausahawan sosial dan mereka yang memerjuangkan benefit corporation. Di seluruh dunia, para wirausahawan sosial berkumpul, bertukar pemikiran dan kiat, juga berjejaring untuk berbisnis bersama. Sertifikasi seperti B Corp makin banyak peminatnya, memberikan pertanda kepada khalayak soal praktik bisnis yang mereka jalankan, sehingga bisa menarik dukungan yang memiliki cita-cita serupa.

Kelima, persekutuan juga terjadi dengan para investor yang ingin investasinya memiliki dampak ekonomi, sosial dan lingkungan yang positif. Mereka tak lagi sekadar menimbang besaran keuntungan finansial dari investasinya, melainkan

mencari mitra bisnis handal yang bisa mewujudkan visi mereka atas dampak positif itu. Terakhir, ekspektasi dan tekanan masyarakat luas terhadap dampak sosial dan lingkungan bisnis semakin memercepat transformasi bisnis, dan dipastikan turut mendorong munculnya para pebisnis yang tercerahkan lebih banyak lagi di masa mendatang.

Telah dimuat di harian Kontan, 17 10 2019

Saya tulis artikel ini bersama mas Jalal – Pendiri dan Komisaris, Perusahaan Sosial WISESA


Comments