Peluang Bisnis Sosial di Indonesia

Tulisan kami sebelumnya bicara tentang beragam tantangan yang dihadapi oleh bisnis sosial di Indonesia. Bagaimana dengan peluangnya? Kami mau memulai uraian tentang peluang ini dengan menaruh harapan tertinggi pada generasi muda, para Milenial dan Generasi Z. Secara de facto merekalah yang sekarang mendominasi bisnis sosial di Indonesia, baik sebagai wirausahawannya, sebagai pendamping, bahkan mungkin sebagai investor. Mereka memang menunjukkan minat untuk belajar lebih keras soal bisnis sosial di kampus-kampus, tetapi majoritas di antara mereka belajar bisnis sosial di luar ruang kuliah.

Di sini kami melihat bahwa peran berbagai organisasi yang mendorong perkembangan bisnis sosial seperti British Council, SIAP, dan Impact Hub, juga program pendampingan yang berjangka cukup panjang seperti dari DBS sangatlah penting. Kami tak melihat mereka surut minatnya untuk membantu perkembangan bisnis sosial di Indonesia, bahkan kecenderungannya jelas terus menguat. Jadi, adanya organisasi-organisasi pendamping bisnis sosial, merupakan peluang yang kedua.

Yang ketiga, terkait dengan perkembangan keuangan berkelanjutan. Setelah cukup lama kita melihat perkembangan socially responsible investment (SRI), kini social impact investment mulai marak. Kita melihat sudah ada sustainability bondsgreen bonds dan social bonds yang dikeluarkan oleh beberapa organisasi asing yang dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan sosial di Indonesia.

Perkembangan lainnya, seperti fintech dan blended finance, apabila bisa dipastikan tujuannya adalah keberlanjutan, maka jelas pula akan menjadi peluang yang sangat besar bagi perkembangan bisnis sosial di Indonesia. Indonesia sendiri sudah memiliki POJK 51/2017 tentang Keuangan Berkelanjutan, dan ini bisa diarahkan untuk menghadirkan peluang pembiayaan—yang dalam studi British Council (2018) dinyatakan sebagai tantangan pertama dan kedua—bagi bisnis sosial.

Peluang keempat terkait dengan sektor yang paling menjanjikan. Para responden yang menjawab survei dari British Council yang dituangkan dalam laporan tersebut menyatakan bahwa mereka terutama bekerja di bisnis sosial

dalam industri kreatif, pertanian dan perikanan, serta pendidikan. Tapi ketiga sektor tersebut baru menempati 53% saja dari keseluruhan sektor.

Kalau kemudian kita ikuti pendirian Muhammad Yunus bahwa tugas bisnis sosial adalah menghilangkan kemiskinan, pengangguran dan emisi, maka peluang yang sangat besar juga seharusnya ada di sektor yang terkait dengan efisiensi energi, energi terbarukan, serta pemulihan kerusakan lingkungan. Kami sudah melihat perkembangan ke arah sana, dan sungguh berharap akan ada banyak perusahaan sosial yang masuk ke sektor ini dalam waktu singkat. Krisis iklim yang sedang kita hadapi sangat membutuhkan uluran tangan dari para pebisnis sosial.

Peluang terakhir datang dari gerakan B Corp. Kami menilai bahwa B Corp dengan sertifikasinya adalah fenomena yang sangat menarik. Ada banyak skema sertifikasi yang sudah dikenal di dunia perusahaan komersial. BIasanya terkait dengan aspek tertentu atau berlaku untuk sektor tertentu saja. Juga, hampir seluruh sertifikasi bagi perusahaan komersial ditujukan bagi perusahaan skala besar.

B Corp berbeda lantaran bisa berlaku bagi bisnis komersial maupun bisnis sosial, apapun sektor usahanya, dan berapapun skala usahanya. Kalau dilihat bahwa sebagaian besar dari mereka yang mendapat sertifikat B Corp adalah perusahaan sosial dan berukuran kecil hingga sedang, maka jelas sertifikasi ini telah menarik perhatian dari pebisnis sosial di seluruh dunia. Mereka jelas bersetuju dengan sistem sertifikasi termasuk indikatornya, dan melihat bahwa aspirasi mereka untuk membuktikan proses dan kinerja yang baik bisa diwadahi oleh gerakan B Corp ini. Mereka juga melihat manfaat pemasaran dan komunikasi dari logo B Corp yang dapat dipasang di produk mereka setelah sertifikat diperoleh.

Kami meramalkan bahwa perusahaan-perusahaan sosial di Indonesia akan semakin tertarik membuktikan dirinya layak untuk mendapatkan sertifikat tersebut. Tentu saja, untuk itu mereka perlu terlebih dahulu belakar soal seluruh proses sertifikasinya, melakukan self assessment untuk mengetahui kesenjangan yang masih ada, lalu melakukan tindakan perbaikan untuk kemudian mengikuti penilaian yang dilakukan oleh pihak ketiga.

Terkait hal ini, di Indonesia sebetulnya ada contoh yang sangat menarik, yaitu keberhasilan perusahaan multinasional, Danone Aqua, mendapatkan sertifikat itu. Artinya, operasi kompleks seperti Danone Aqua, dengan tantangan

pengelolaan dampak terkait air dan kemasan plastik sekalipun bisa dijawab dengan memuaskan sehingga akhirnya sertifikat yang sangat bergengsi itu bisa diperoleh.

Seharusnya, perusahaan-perusahaan sosial yang dari awal sudah dibuat dengan niatan pemecahan tantangan yang dihadapi masyarakat dan mau mau tawar- menawar dalam keberlanjutan ekonomi, sosial, dan lingkungan, bisa lebih mudah mendapatkan sertifikat itu. Secara teoretis, tentu saja. Praktiknya masih perlu mendapatkan dukungan seluruh pihak yang menginginkan bisnis sosial di Indonesia melesat maju di tahun-tahun mendatang.

Telah dimuat di harian Kontan, 12 12 2019

Saya tulis artikel ini bersama mas Jalal – Pendiri dan Komisaris, Perusahaan Sosial WISESA

Comments