Menilai Dampak Sosial

Tulisan dalam seri ini, Investasi Sosial dan SROI, yang ditulis Wahyu Aris Darmono dan Jalal (Kontan, 28 Maret 2019) mendapatkan banyak apresiasi dan pertanyaan lanjutan dari para pembaca. Pertanyaan-pertanyaan yang ada kebanyakan terkait dengan pengukuran dampak sosial dan tindakan yang dilakukan setelah mengetahui hasilnya. Tulisan ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait pengukuran dampak sosial itu.

Pertama, soal pengertian dampak. Dampak (impact) sendiri adalah salah satu di antara tiga petunjuk kinerja, selain hasil langsung (output) dan hasil tak langsung (outcome). Sebagai ukuran yang paling jauh, karena merupakan konsekuensi jangka panjang dari projek, program, atau operasi sebuah organisasi. Di antara mereka yang menguasai penilaian kinerja, kerap dinyatakan “menilai output itu mudah, menilai outcome itu menantang, tetapi menilai impact itu rumit.” Apalagi, kalau disadari bahwa dalam jangka panjang itu ada banyak faktor lain yang juga berkontribusi pada dampak tersebut.

Kedua, tentang pengertian sosial. Arti dari sosial sangatlah cair. Terkadang artinya benar-benar aspek seperti HAM, ketenagakerjaan, kesehatan, pendidikan, dan lainnya yang memang biasa dinyatakan sebagai bagian dari aspek sosial. Kali lain, sosial berarti hubungan dengan sebagian atau seluruh pemangku kepentingan (pihak yang terpengaruh dan memengaruhi pencapaian tujuan organisasi). Juga, sosial bisa berarti kesatuan ekonomi, sosial, dan lingkungan, seperti dalam istilah corporate social responsibility (CSR). Karenanya, siapapun yang ingin mengetahui dampak sosial, perlu menjelaskan terlebih dahulu pengertian dan batasannya.

Ketiga, sesungguhnya untuk mengetahui dampak sosial dari sebuah projek, program, ataupun operasi secara keseluruhan dari perusahaan—baik komersial maupun sosial—tidaklah selalu harus dilakukan secara kuantitatif, yang terasosiasi dengan kata mengukur. Epstein dan Yuthas (2014) menyatakan bahwa ada empat pendekatan penilaian dampak sosial, yaitu opini pakar, kualitatif, kuantitatif, dan monetisasi.

Pada pendekatan pertama, sebuah organisasi bisa meminta orang dengan kredibilitas yang tinggi untuk melihat secara saksama projek, program, maupun operasi secara keseluruhan itu, lalu membuat judgement soal dampaknya. Pendekatan kedua mengandalkan wawancara mendalam, observasi dan interpretasi atas informasi kualitatif yang diberikan oleh penerima manfaat dan pemangku kepentingan lain. Pendekatan ketiga menggunakan instrumen seperti survei untuk bisa menghasilkan data berupa angka. Pendekatan terakhir menginginkan dampak bisa dinyatakan dalam satuan mata uang.

Keempat, Social Return on Investment (SROI) adalah pendekatan yang disebut terakhir itu, yaitu monetisasi. Apakah SROI ini yang dianggap paling kuat dalam pengkuran dampak? Tidak juga demikian, walau sekarang SROI adalah di antara metode yang paling popular dan menarik perhatian banyak pihak, termasuk dan terutama para impact investor. Daya tarik dari SROI adalah bisa dengan baik menggambarkan berapa hasil yang diperoleh seluruh penerima manfaat dari setiap rupiah yang diinvestasikan. Hal ini membuat dampak menjadi jelas dan mudah dimengerti oleh mereka yang tak punya cukup ketertarikan, kesanggupan, atau waktu untuk mengetahui lebih dalam.

Kelima, kalau pendekatan kuantitatif dan monetisasi semakin dianggap penting, tampaknya itu terkait dengan kepentingan manajemen. “What gets measured gets managed,” demikian kata guru manajemen paling terkemuka, Peter Drucker. Manajemen selalu membutuhkan ukuran kuantitatif untuk mengetahui sedekat atau sejauh apa dari target, sehingga di tingkat implementasi tak bisa mengandalkan yang sifatnya hanya kualitatif.

Terakhir, menggabungkan beberapa pendekatan pengukuran dampak tampaknya juga makin popular. Alasannya tentu lantaran bisa mendapatkan manfaat dari kredibilitas pakar, kedalaman cerita, berbagai metriks penting, termasuk uang, bisa menjadikan kepercayaan terhadap hasil penilaian dampak menjadi semakin tinggi. Ketika hasil dari beragam pendekatan itu bisa menunjukkan konsistensi gambaran, tentu makin banyak orang yang memercayainya.

Penilaian atas dampak sosial adalah hal yang penting bagi perusahaan komersial maupun sosial. Tentu, buat perusahaan sosial penilaian dampak adalah imperatif. Sebagai perusahaan yang didirikan untuk memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat, maka perusahaan sosial harus membuktikan bahwa tujuan pendiriannya benar-benar tercapai. Sementara, perusahaan komersial yang sudah ‘bosan’ dengan komunikasi CSR yang hanya menonjolkan berapa

rupiah yang disalurkan kepada penerima manfaat, juga perlu segera menggeser perhatiannya kepada dampak sosialnya.

Telah dimuat di harian Kontan, 11 04 2019

Saya tulis artikel ini bersama mas Jalal – Pendiri dan Komisaris, Perusahaan Sosial WISESA

Comments