Pada bagian pertama, kami telah membahas tentang mengapa kearifan adat Indonesia sangatlah kompatibel dengan semangat bisnis sosial. Hal itu disarikan dari artikel Handyanto Widjojo dan Sandy Gunawan. Lewat Indigenous Tradition: A Overlooked Encompassing Factor in Social Entrepreneurship, kedua akademisi dari Universitas Prasetiya Mulya itu, juga mengungkapkan kaitan antara orientasi kewirausahaan yang didasarkan pada kearifan adat dengan kinerja perusahaan sosial.
Pada tahun 2005 Gregory Dees merumuskan orientasi kewirausahaan (entreprenuerial orientation), yang ia definisikan sebagai praktik pembuatan strategi yang digunakan oleh perusahaan untuk mengidentifikasikan dan meluncurkan sebuah bisnis. Orientasi ini merepresentasikan kerangka pemikiran dan perspektif tentang kewirausahaan yang tercermin dalam seluruh proses yang dijalani dan budaya perusahaan.
Dees meramu pemikiran Miller (1983), Covin dan Slevin (1991), serta Lumpkin dan Dees (1996) untuk sampai pada kesimpulan bahwa terdapat lima dimensi orientasi kewirausahaan, yaitu otonom, inovatif, proaktif, kompetitif-agresif, dan keberanian mengambil risiko. Oleh Lumpkin, dkk (2011), orientasi kewirausahaan tersebut dikembangkan di dalam konteks bisnis sosial, dengan urutan yang berubah. Lumpkin, dkk mengurutkan menjadi inovatif, proaktif, keberanian mengambil risiko, kompetitif-agresif, dan otonom. Urutan ini juga yang digunakan oleh Widjojo dan Gunawan.
Oleh Widjojo dan Gunawan, setiap orientasi ditimbang dengan tiga aspek kinerja perusahaan sosial: penciptaan manfaat sosial, keberlanjutan dari solusi yang ditawarkan, serta kemampuan memuaskan beragam pemangku kepentingan. Maka, jadilah matriks 5 x 3 yang sangat menarik, dengan hasil yang sangat jelas menunjukkan kaitan yang sebagian besarnya bersifat positif pada 10 kasus yang diteliti.
Dari dimensi inovatif jelas ditunjukkan bahwa kearifan masyarakat yang dimanfaatkan oleh perusahaan sosial meningkatkan produktivitas dan hasil, sehingga menignkatkan kesejahteraan masyarakat yang terlibat. Ketika media
sosial dipergunakan untuk menyebarluaskan kearifan adat kepada generasi muda, mereka kemudian juga menjadi tertarik. Nilai-nilai adat yang sesuai dengan integrasi ekonomi-sosial-lingkungan, serta selalu bersifat kolaboratif menghasilkan solusi yang berkelanjutan. Tetapi diakui bahwa walau inovasi yang dilakukan berhasil menarik lebih banyak pemangku kepentingan, tetap saja kepuasan yang dirasakan oleh para pemangku kepentingan yang terlibat tidaklah setara.
Pada dimensi berikutnya, proaktif, ditunjukkan bahwa para wirausahawan sosial itu berhasil menumbuhkan nilai-nilai sosial yang adaptif terhadap perkembangan zaman, selain meningkatkan manfaat sosial bagi masyarakat adat serta perusahaan sosial yang terlibat. Dengan menjadikan nilai-nilai tradisional sebagai jangkar dalam menghadai perkembangan, ternyata solusi berkelanjutan yang disandarkan pada potensi lokal bisa menjadi lebih kokoh. Dan, para pemangku kepentingan yang terlibat menunjukkan kepuasan terkait dengan pengembangan pasar, cara pemrosesan sumberdaya, serta dalam menjaga tradisi lokal. Dimensi ini menunjukkan kompatibilitas sepenuhnya.
Dimensi ketiga, keberanian mengambil risiko, juga menunjukkan hal-hal yang sangat menarik. Mengedukasi publik soal nilai-nilai tradisional jelas meningkatkan kepekaan terhadap manfaat sosial yang diciptakan perusahaan sosial. Pemanfaatan bahan-bahan lokal juga memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat. Risiko yang diambil untuk memberdayakan perempuan dan legalisasi kerjasama dengan masyarakat membuahkan hasil solusi yang berkelanjutan. Dengan legalisasi kerjasama tersebut, semakin banyak pemangku kepentingan yang terlibat, walau lantaran masih bersifat sukarela, kepuasannya belumlah merata.
Promosi yang konsisten tentang tradisi masyarakat memang nyata membawa manfaat sosial, dan dengan memastikan harga yang pantas, penerimaan pasar terus membaik. Ini yang terlihat pada dimensi kompetitif-agresif. Optimasi atas sumberdaya yang ada, dan pendidikan tak kenal lelah kepada masyarakat luas tentang kearifan adat juga membuat bisnis sosial menjadi semakin kokoh keberlanjutannya. Pemangku kepentingan yang terlibat dalam sosialisasi tradisi juga semakin meluas, meskipun hal ini ditengarai bisa meningkatkan tekanan— bisa berarti positif maupun negatif—kepada pemangku kepentingan untuk terlibat dalam bisnis sosial.
Terakhir, dimensi otonom. Aktivitas mandiri dari bisnis sosial menunjukkan potensi-potensi baru yang bisa dikembangkan untuk meningkatkan manfaat
sosial, termasuk mendorong ko-kreasi bersama pihak-pihak lain. Dengan kolaborasi itu juga solusi yang diajukan bisa menjadi lebih berkelanjutan, selain lebih tangguh dan adaptif dalam menghadapi perubahan lingkungan. Tetapi kebebasan dalam mengambil tindakan memang tidak bisa dipastikan akan memuaskan seluruh pemangku kepentingan, walaupun menjadikan lebih mudah mengambil keputusan alokasi sumberdaya manakala ada peluang yang muncul.
Dengan temuan tersebut, sudah seharusnya perusahaan sosial di Indonesia bisa melihat kembali nilai-nilai tradisional yang ada untuk dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat, sekaligus menghasilkan solusi yang berkelanjutan untuk seluruh penerima manfaat dan keuntungan bagi perusahaan yang melaksanakannya.
Telah dimuat di harian Kontan, 27 06 2019
Saya tulis artikel ini bersama mas Jalal - Pendiri dan Komisaris, Perusahaan Sosial WISESA
Comments
Post a Comment