Kearifan Adat dan Bisnis Sosial – Bagian Pertama

Salah satu jurnal ilmiah paling bergengsi dalam bidang bisnis sosial, Journal of Social Entrepreneurship, pada bulan Februari 2019 mengumumkan diterimanya makalah yang ditulis oleh Handyanto Widjojo dan Sandy Gunawan. Keduanya adalah akademisi dari Universitas Prasetiya Mulya. Tulisan mereka, Indigenous Tradition: A Overlooked Encompassing Factor in Social Entrepreneurship, sangatlah menarik, bukan saja bagi perkembangan bisnis sosial di Indonesia, melainkan juga bagi negara manapun yang memiliki tradisi-tradisi serupa dengan yang dipaparkan di dalamnya.

Hal yang juga sangat menarik adalah bahwa satu bulan sebelumnya, tulisan dari akademisi Indonesia lainnya, Ira Puspadewi dan kawan-kawannya dari Universitas Indonesia dan Universitas Pertamina juga diterima oleh jurnal tersebut. Makalah Puspadewi dkk, Managing Paradox for the Sustainability of Social Enterprises membedah praktik koperasi masyarakat hutan. Tampaknya tahun 2019 menjanjikan semakin popularnya kasus-kasus bisnis sosial yang ditulis oleh akademisi Indonesia untuk audiens internasional. Semoga kedua tulisan forthcoming tersebut bisa diikuti oleh karya-karya berikutnya yang bernas.

Artikel ini akan membahas tentang makalah Widjojo dan Gunawan tentang 10 perusahaan sosial yang memanfaatkan kearifan adat untuk membangun bisnisnya. Empat yang pertama berasal dari seluruh wilayah Indonesia, dan enam berikutnya mereka memfokuskan pada bisnis sosial yang ada di Pulau Bali. Bagi mereka yang banyak melakukan perjalanan wisata, sebenarnya kesepuluh perusahaan sosial ini sudah relatif terkenal, namun analisis atas apa yang mereka lakukan dari sudut pandang bisnis sosial tampaknya memang baru dilakukan dalam makalah ini.

Kain tenun buatan masyarakat adat Dayak Iban yang dijual di Pontianak, Kalimantan Barat, sangatlah terkenal. Demikian juga sagu yang dibuat dan dijual oleh organisasi Roas Mitra di Halmahera Barat, Maluku Utara. Dari Tangerang Selatan, Provinsi Banten dibahas apa yang dilakukan oleh Batik Kanawida. Sementara, dari ibukota Provinsi Jawa Barat, Bandung, ada Komunitas Hong, yang membuat dan menjual mainan tradisional. Seluruh organisasi tersebut

jelas memiliki karakteristik perusahaan sosial, walau sangat mungkin mereka tidak menyadari dan mengklaim demikian.

Keenam kasus berikutnya, yang seluruhnya terkait dengan wisata adat di Bali, tampaknya juga demikian. Nusa Ceningan sangat terkenal dengan ekowisata rumput laut. Para wisatawan yang pernah datang ke desa Tenganan, pasti tersihir dengan suara gamelan yang menenangkan, terpukau dengan hasil kerja kain Geringsing, juga dengan produk-produk tradisional lainnya yang dijajakan masyarakatnya. Ekowisata di Tabanan terkenal lantaran makanan tradisional dan kerajinan dari janurnya, di mana setiap wisatawan yang berminat bisa belajar membuatnya.

Sibetan adalah desa ekowisata yang berada di kaki Gunung Agung. Desa itu terkenal dengan salak yang rasanya sangat enak, serta minuman tradisional dari salak dan buah-buahan lainnya. Utama Spice adalah sebuah perusahaan sosial di Ubud, yang bekerja sama dengan masyarakat adat untuk membuat obat, perawatan tubuh dan kosmetika herbal yang mereka warisi secara turun temurun resepnya. Terakhir, Mitra Bali, yang merupakan perusahaan sosial yang mengumpulkan dan menjual kerajinan tangan melalui kemitraan dan perdagangan yang adil.

Widjojo dan Gunawan menyatakan bahwa terdapat lima hal yang membuat kearifan adat sangatlah sesuai dengan semangat bisnis sosial. Pertama, tradisi yang dimanfaatkan untuk berbisnis itu benar-benar tumbuh dari masyarakat. Kedua, tradisi tersebut membuat masyarakat menjadi guyub, sehingga melestarikan tradisi lewat perdagangan juga bisa menguatkan harmoni dalam masyarakat. Ketiga, tradisi adalah warisan yang sangat berharga bagi masyarakat, dihargai dan diterima dengan baik oleh masyarakat.

Keempat, tradisi tersebut telah menunjukkan kompatibilitas yang tinggi terhadap kondisi alam dan lokalitas. Dengan demikian, melestarikan tradisi berarti juga merawat alam yang menjadi sumber penghidupan yang penting buat masyarakat. Kelima, tradisi itu diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, sehingga menjamin keberlangsungannya hingga masa mendatang.

Kelima hal tersebut, menurut hemat kami, membuat masyarakat adat menjadi pemangku kepentingan bisnis sosial yang kuat di manapun mereka berada. Bisa saja bisnis sosial timbul dari masyarakat adat sendiri, namun juga bisa dari pihak luar yang memiliki penghormatan atas nilai-nilai massyarakat adat, dan menjaga diri dari keinginan mengeksploitasinya. Tulisan kami berikutnya akan

membahas kaitan antara orientasi kewirausahaan yang didasarkan pada kearifan adat dengan kinerja perusahaan sosial, yang merupakan analisis lebih lanjut dalam makalah Widjojo dan Gunawan.

Telah dimuat di harian Kontan, 13 06 2019

Saya tulis artikel ini bersama mas Jalal – Pendiri dan Komisaris, Perusahaan Sosial WISESA

Comments