Geliat Keberlanjutan Nelayan Bangsring

Seperti banyak kawasan pantai dan pesisir Indonesia lainnya, Pantai Bangsring di Banyuwangi juga dihuni oleh para nelayan. Sejak tahun 1970, mereka menangkap ikan dengan alat-alat yang sederhana. Ikan-ikan hias yang secara tradisional menjadi sasaran penangkapan di sana, ketika itu masih relatif mudah didapat.

Semakin tahun, persaingan semakin meningkat. Para nelayan tak lagi menggunakan alat tangkap yang sederhana. Racun sejenis potas dan bahan peledak banyak dipergunakan di kalangan mereka karena mudah didapat dan murah harganya. Hasil tangkapan pun meningkat lebih tinggi dari biasanya, dan pendapatan mereka naik.

Namun mereka tidak sadar. Penggunaan kedua bahan itu justru merusak terumbu karang, yang menjadi tulang punggung ekosistem laut. Jumlah ikan yang ditangkap akhirnya menurun drastis. Penggunaan bahan-bahan tak ramah lingkungan itu membunuh berbagai spesies ikan, sekaligus menghancurkan biota laut secara keseluruhan. Itu mulai terjadi di paruh kedua 1980an.

Beberapa jenis ikan yang awalnya relatif banyak, perlahan tapi pasti, sudah tidak pernah tersangkut di jaring lagi. Dengan pengetahuan yang minim, para nelayan cenderung mencari daerah tangkapan ikan yang baru, daripada memerbaiki ekosistem yang kerusakannya semakin parah. Mereka pun makin kerap berurusan dengan aparat keamanan karena penggunaan bahan peledak sesungguhnya adalah ilegal. Konflik dengan nelayan lain yang merasa sumberdaya wilayahnya diambil juga terjadi.

Kesadaran akan peran terumbu karang di kawasan itu kemudian mulai timbul. Wilayah tangkap yang semakin jauh dari tempat tinggal, pendapatan yang semakin menurun, perlahan menggerakkan beberapa nelayan menjadi pelopor. Masa-masa sulit perjuangan awal itu pun dimulai. Mereka merasakan betapa sulitnya mengajak kawan sejawat melestarikan dan memperbaiki kondisi pantai dan pesisir, tempat mereka menggantungkan hidup.

Mulai tahun 2008, para nelayan pelopor di Bangsring mulai tergerak untuk melakukan rehabilitasi, restorasi, dan regenerasi kawasan pantainya. Mereka menetapkan zona inti, di mana mereka membangun terumbu karang buatan dan apa yang disebut sebagai apartemen ikan (fish apartment). Bukan dengan alat-alat modern, tapi dengan segala bahan bekas yang bisa mereka dapatkan, misalnya besi rongsokan, bambu, kayu dan peti-peti bekas atau pun ban-ban yang sudah tidak terpakai lagi.

Aneka bahan itu mereka rakit sedemikian rupa secara swadaya untuk dijadikan apartemen ikan. Sebelum berlayar ke laut lepas, para nelayan membawa apartemen ikan rakitan mereka itu dengan perahu, lalu menenggelamkannya di tempat yang dalam pengetahuan mereka bisa berpotensi kembali mendatangkan ikan. Hal ini semakin intensif mereka lakukan mulai 2011, setelah melihat tanda-tanda kawanan ikan semakin banyak mendatangi kawasan Pantai Bangsring.

Di hadapan kenyataan kesuksesan mereka mendatangkan kawanan ikan, para nelayan sepakat untuk tidak melakukan penangkapan di zona inti tersebut hingga saat ini. Ada sanksi berat bagi mereka yang melanggar. Mereka pun secara swadaya melakukan patroli, untuk menjaga kawasan itu dari pengambilan ikan oleh nelayan dari wilayah lain.

Dengan pengaturan yang demikian, populasi ikan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Para nelayan tidak tergoda untuk menangkap ikan di zona inti. Sebagian dari mereka menambah mata pencaharian dengan cara menjadi tour guide, yang ternyata lebih menjanjikan. Kini komunitas mereka sudah mengelola sejumlah homestay, memiliki paket snorkeling, hingga mampu mengadakan pelatihan penyelaman bersertifikasi.

Jerih payah itu mulai memerlihatkan buahnya. Statistik tangkapan ikan hias di sekitar zona inti, mulai mengalami peningkatan. Pada 2013 mereka berhasil menangkap 4.130 ekor. Angkanya naik di tahun 2014 dan 2015 menjadi sebanyak 8.949 dan 12.844 ekor. Rerata kenaikannya mencapai 80% di tahun- tahun itu. Beberapa jenis ikan yang tadinya dianggap punah kembali ditemukan. Mulai tahun-tahun itu pula, para nelayan tidak lagi harus melaut terlalu jauh dari pantai.

Kesadaran para nelayan akan kelestarian tempat mereka memertaruhkan kehidupan pun terus meningkat. Para nelayan membuat sendiri kesepakatan di antara mereka untuk tidak akan pernah lahi menggunakan bahan peledak

maupun potas. Pemerintah daerah mendukungnya. Berbagai sosialisasi teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan disampaikan kepada para nelayan.

Kini para nelayan Pantai Bangsring semakin menikmati jerih payah mereka. Apartemen ikan yang mereka bangun di dasar laut, semakin meningkatkan jumlah tangkapan mereka, dengan rataan peningkatan mencapai 100% per tahunnya. Mereka bisa menghemat waktu dalam mencari ikan dan menghemat biaya yang sangat besar, karena ikan-ikan lah yang kini mendekati mereka. Terbukti, perikanan berkelanjutan dengan upaya pelestarian dan pemulihan lingkungan memang berdampak positif pada kesejahteraan nelayan.

Telah dimuat di harian Kontan, 28 05 2020

Saya tulis artikel ini bersama mas Jalal – Pendiri dan Komisaris, Perusahaan Sosial WISESA 


Comments