Bisnis Sosial Mengubah Industri

Banyak sudah bukti yang menunjukkan bahwa bisnis sosial memang menjalankan bisnis dengan lebih baik bagi keberlanjutan. Namun demikian, kebanyakan diskusi tentang hal tersebut dibatasi pada kinerja perusahaan sosial yang melakukannya dan mereka yang terlibat di sepanjang rantai nilainya. Apakah bisnis yang dijalankan perusahaan-perusahaan sosial memiliki pengaruh keberlanjutan yang lebih luas? Kalau memang memiliki pengaruh tersebut, bagaimana mekanismenya?

Artikel van Abel, Haagsma dan Panhuijsen yang diterbitkan oleh World Economic Forum pada tanggal 11 Januari 2021 lalu menjelaskannya melalui studi kasus atas perusahaan-perusahaan sosial yang beroperasi di Belanda. Menurut mereka, terdapat dua aktivitas yang fundamental dan tiga strategi yang memungkinkan perusahaan sosial mengubah industri di mana mereka bekerja.

Dua aktivitas fundamental itu ialah penetapan tujuan dan manajemen pemangku kepentingan. Penetapan tujuan secara formal dan eksplisit ini membuat perusahaan sosial dapat menunjukkan sebesar apa ambisi perubahan sosial yang hendak dicapainya. Sementara, manajemen pemangku kepentingan, mulai dari pemetaan hingga pembinaan hubungan dengan pemangku kepentingan membuat perusahaan sosial bisa merumuskan dan mengeksekusi pengaruhnya terhadap rantai nilai bahkan seluruh industri. Apabila perusahaan sosial ingin meningkatkan skala dampaknya, manajemen pemangku kepentigan adalah kuncinya.

Kemudian, ada tiga strategi yang dimanfaatkan oleh perusahaan sosial untuk bisa mengubah, atau lebih tepatnya mendisrupsi, industrinya. Pertama, raising the possible, melalui riset, pengetahuan dan inovasi. Tujuannya adalah menunjukkan cara menjalankan bisnis secara lebih berkelanjutan, memberikan inspirasi bagi orang lain, dan menawarkan model baru yang dapat ditiru oleh bisnis lainnya. Hal ini menjadi bermakna apabila perusahaan sosial memang bisa membuktikan bahwa bisnisnya berkelanjutan, bisa mengembangkan pasar bagi produk-produk berkelanjutan, dan secara gigih menyebarluaskan pengetahuan tentang inovasi keberlanjutan yang mereka lakukan.

Kedua, raising the desirable, yang mencakup norma, nilai-nilai dan budaya keberlanjutan di dalam organisasinya yang terus-menerus membangun daya tarik model bisnis yang berkelanjutan bagi konsumen, karyawan, dan investor. Termasuk di dalam strategi ini adalah upaya meningkatkan kesadaran publik atas isu-isu tertentu, melakukan advokasi untuk melakukan pembelian atas produk- produk berkelanjutan, memberikan alternatif yang lebih baik kepada para konsumen, menginspirasi para (pencari) kerja untuk menuntut pekerjaan yang memiliki tujuan mulia (purpose), dan mendukung investasi yang memberikan dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan yang positif.

Ketiga, raising the acceptable, yaitu aturan, standar, dan kebijakan yang mengubah parameter dari apa yang secara umum dianggap dapat diterima atau tidak terkait dengan keberlanjutan. Ini berarti perusahaan sosial perlu melakukan advokasi atas standar keberlanjutan yang lebih tinggi agar bisa diterima secara luas di industrinya, membangun sistem sertifikasi dan pelabelan yang kredibel untuk membuktikan keberlanjutan, dan terus mendorong perubahan dalam kebijakan dan regulasi yang ditetapkan oleh Pemerintah agar semakin dekat dengan cita-cita keberlanjutan.

Ada tiga contoh kasus yang diberikan. Kasus Tony's Chocolonely menunjukkan bagaimana perusahaan secara aktif mendorong perusahaan cokelat lain untuk mengadopsi metode mereka melalui Tony’s Open Chain Platform. Ini adalah platform yang mengumpulkan semua informasi dan alat yang relevan yang dapat digunakan perusahaan untuk memastikan rantai pasokan mereka 100% bebas dari perbudakan dan petani kakao mendapatkan penghasilan yang layak. Kasus berikutnya, Fairphone, yang membangun Fair Cobalt Alliance yang menyatukan para pelaku industri untuk meningkatkan kondisi penambang konalt skala artisanal dan kecil di Republik Demokratik Kongo. Kasus ketiga adalah Closing the Loop, sebuah perusahaan sosial yang mengumpulkan dan mendaur ulang limbah elektronik di negara-negara yang kekurangan infrastruktur daur ulang limbah. Ketiga teladan ini menunjukkan pengaruh yang sangat besar dari perusahaan sosial dalam transisi keberlanjutan.

Namun, tentu saja, teladan dari perusahaan-perusahaan sosial adalah undangan yang perlu dijawab oleh individu, organisasi masyarakat sipil, dan terutama bisnis komersial untuk juga menjadi kontributor bagi keberlanjutan dunia. Perusahaan sosial yang maju sekalipun sering kali dibatasi oleh sumberdaya yang mereka miliki. Oleh karena itu, perusahaan komersial harus mencari lebih banyak peluang untuk berkolaborasi melalui berbagai platform.

Demikian juga, para investor yang ingin membawa dampak positif harus mendedikasikan dana untuk memperkuat kapasitas permodalan bisnis sosial. Pemerintah dapat membuat kebijakan dan regulasi yang semakin mendukung keberlanjutan, organisasi masyarakat sipil bisa menjadikan perusahaan sosial sebagai rujukan bisnis yang mereka dukung, dan para konsumen perlu sedapat mungkin membeli produk-produk yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan sosial itu. Dengan dukungan yang semakin massif, pengaruh bisnis sosial dapat meluas, jauh melampaui apa yang sudah kita lihat hingga sekarang.

Telah dimuat di harian Kontan, 04 02 2021

Saya tulis artikel ini bersama mas Jalal – Pendiri dan Komisaris, Perusahaan Sosial WISESA 


Comments