Ulama Rasional vs Ulama Emosional

Iqra! Itulah perintah pertama dan utama dalam Islam. Perintah untuk membaca, menelaah, menyelami, mendalami, merenungi, dan menemukan. Sebuah kata yang dalam dan luas makna. 


Senyatanya, manusia paling cepat terbawa arus, terombang-ambing oleh suasana jiwa dan lingkungannya. Akibatnya, warna pemikiran dan bentuk tutur kata dan perilakunya seringkali dikuasai oleh suasana jiwa dan bentuk lingkungannya. 


Manusia seperti ini akan mengalami instabilitas kejiwaan dan prilaku. Hari ini menyukai warna putih, dua menit kemudian akan membenci warna itu. Siang ini kagum dengan seseorang, malam harinya orang itu dibenci setengah mati. 


Realita inilah yang menjadi salah satu alasan kenapa perintah "iqra" (membaca) menjadi sangat relevan. Bahwa emosi manusia bukan tidak penting, bahkan sangat penting. Bayangkan kalau emosi itu tidak ada. Bagaimana mungkin seserang akan mencintai seseorang yang seharusnya dicintai? Atau boleh jadi dia akan tertawa di saat anak atau ibunya meninggal dunia. 


Tapi emosi yang tidak diimbangi oleh rasionalitas yang matang cenderung membutakan dan boleh jadi menghempakkan ke dalam jurang berbahaya. 


Mengantisipasi kemungkinan mudharat emosi ini, Allah mengimbanginya dengan membentuk kekuatan rasional pada manusia. Dan kekuatan rasional inilah sesungguhnya yang kemudian secara khusus dibekali dengan perintah khusus membaca tadi. 


Ulama ternyata tidak terlepas dari dua kemungkinan ini. Ada ulama yang dengan mudah dikendalikan oleh emosi.  Yang ini sih, - setidaknya menurut saya sendiri, nggak layak mendapat sebutan ulama.  Sebaliknya, ada juga yang mampu mengimbangi emosinya dengan daya rasionalitasnya. 


‘Ulama’ yang dengan mudah dikendalikan oleh emosi itulah yang dengan enteng dan gagah berani   menghakimi orang lain. Mudah menyalahkan, bahkan mengafirkan sesama. 


Sebaliknya ulama yang mampu mengimbangi emosinya dengan rasionalitas akan lebih mampu mengendalikan diri dalam penghakiman. Akan mampu mengedepankan pandangan positif di atas pandangan negatif. Mengedepankan kemungkinan solusi di atas kemungkinan terjadinya konflik dan masalah. 


Akhirnya di abad 21 dan dan dalam dunia global ini kita memerlukan more "rational scholars" untuk mengimbangi emosi umat yang berlebihan. Kalau ulamanya terbawa arus dan hanyut dalam emosi, apapun alasannya, maka umat ini kehilangan kendali. Dan dengan itu orang lain di sekitar kita akan bertepuk tangan dan menari kesenangan. Semoga tidak!


Comments