Regulasi tentang Bisnis Sosial

Salah satu pertanyaan yang paling kerap diajukan ketika diskusi tentang bisnis atau perusahaan sosial berlangsung adalah tentang badan hukumnya. Sebagai organisasi hibrida yang mengejar tujuan sosial dan bisnis sekaligus,secara ideal memang seharusnya memiliki bentuk tersendiri. Demikian yang dinyatakan oleh banyak pakar hukum di bidang ini. Kemudian, pendirian tersebut melahirkan regulasi-regulasi yang sesuai di berbagai negara.

Ambil contoh di Inggris, yang mungkin adalah negara yang paling menonjol perkembangan bisnis sosialnya di seluruh dunia. Di sana ada badan hukum khusus untuk perusahaan sosial, yaitu community interest company (CIC). Regulasinya diterbitkan pada tahun 2005, dengan tujuan memberi ruang bagi perusahaan sosial yang sejak awal didesain untuk memanfatkan aset dan keuntungan yang mereka peroleh untuk kepentingan publik.

Di Amerika Serikat regulasinya malah memungkinkan beberapa badan hukum yang bisa dimanfaatkan oleh perusahaan sosial. Ada badan hukum bernama low-profit limited liability company (L3C) yang didesan bagi perusahaan yang memang menyatakan bahwa pendiriannya adalah untuk membawa manfaat sosial, dan bukan untuk memaksimumkan pendapatan. Perusahaan yang mau mengajukan diri sebagai L3C diwajibkan untuk mengutamakan manfaat sosialnya, sehingga prioritas tugas fidusianya menjadi tegas.

Hal yang sangat menarik dari regulasi L3C adalah kemudahan dalam menarik investasi dari yayasan maupun investor swasta. Dengan begitu, yayasan bisa mendapatkan keuntungan dari berinvestasi di organisasi L3C. Demikian juga kalau berinvestasi di social purpose corporation (SPC) atau benefit corporation (B Corp). Keduanya adalah bentuk perusahaan yang menyatakan bahwa dalam setiap pengambilan keputusan mereka akan menimbang isu-isu sosial dan lingkungan, bukan sekadar tujuan memaksimumkan keuntungan. Bedanya, SPC mengejar tujuan sosial atau lingkungan tertentu, sementara B Corp lebih bersifat umum.

Bagaimana di Tanah Air? Jelas belum ada regulasi khusus tentang badan hukum perusahaan sosial. Walaupun, banyak pakar yang menyebutkan bahwa sesungguhnya koperasi adalah wujud dari perusahaan sosial yang paling umum ditemukan. Ini berarti koperasi-koperasi di Indonesia bisa dianggap sama atau mendekati bisnis sosial. Sayangnya, regulasi tentang koperasi sangat ketinggalan zaman. Setahun setelah diundangkan UU 17/2012 tentang Perkoperasian dibatalkan Mahkamah Agung, dan kita kembali ke UU 25/1992.

Tetapi, selain menunggu RUU Perkoperasian yang terus dibahas, kini ada juga RUU Kewirausahaan, yang pada Pasal 1 butir 2, 4 dan 6 menyebutkan tentang wirausaha sosial dan kewirausahaan sosial. Definisi kewirausahaan sosial di situ adalah “kewirausahaan yang memiliki visi dan misi untuk menyelesaikan masalah sosial dan/atau memberikan perubahan positif terhadap kesejahteraan masyarakat dan lingkungan melalui perencanaan, pembinaan, pengembangan dan pemberdayaan yang memiliki dampak terukur, dan menginvestasikan kembali sebagian besar keuntungannya untuk mendukung misi tersebut.” Definisi yang—walaupun tak lengkap—tampak mendekati arus utama di tingkat global.

Pasal 2 mengungkap asas-asas kewirausahaan nasional. Di antaranya menyebutkan demokrasi ekonomi, kebersamaan, efisiensi berkeadilan, kesejahteraan, berkelanjutan (sic!), kemandirian, inovasi, dan pemberdayaaan—yang sesuai dengan prinsip-prinsip bisnis sosial.

Kemudian, Pasal 10 RUU tersebut mendeskripiskan karakteristik kewirausahaan sosial, yaitu: memiliki visi dan misi sosial untuk menyelesaikan masalah sosial masyarakat, sebagian besar keuntungannya digunakan kembali untuk menjalankan visi dan misi sosial, melibatkan partisipasi dan memberdayakan masyarakat, dan menerapkan prinsip prinsip tata kelola usaha yang baik.

Pasal 11-nya melanjutkan dengan menjelaskan entitas hukum kewirausahaan sosial, “...antara lain yayasan, perkumpulan, dan koperasi.” (butir 1). Walaupun di situ dinyatakan ‘antara lain’, namun tidak disebutkannya perusahaan tentu saja sangat mengherankan. Pertama, karena berbagai regulasi di negara lain malah menekankan status perusahaan dan bukan organisasi nirlaba untuk perusahaan-perusahaan sosial. Kedua, karena pada kenyataannya wirausaha sosial di Indonesia sebagian besarnya memilih perusahaan sebagai badan hukum.

Mengingat kedua hal tersebut—juga batasan-batasan yang dimiliki oleh yayasan, perkumpulan, dan koperasi dalam berbisnis—sebaiknya dipastikan bahwa badan hukum perusahaan juga disebutkan di dalam pasal tersebut. Demikian juga, kelak bila PP Kewirausahaan Sosial dibuat, sesuai mandat pada Pasal 12, perusahaan juga disebutkan dengan jelas sebagai salah satu kemungkinan wujud kewirausahaan sosial. Tentu, lebih baik lagi kalau ada badan usaha khusus, sebagaimana yang kita lihat di Inggris dan Amerika Serikat.

Telah dimuat di harian Kontan, 09 11 2017

Saya tulis artikel ini bersama mas Jalal – Pendiri dan Komisaris Perusahaan Sosial WISESA

Comments