Perguruan tinggi dan Bisnis Sosial

Apakah perguruan tinggi bisa diharapkan menjadi bagian penting dari gerakan untuk membuat bisnis sosial menjadi arus utama bisnis di masa mendatang? Bagi mereka yang pesimistik, jawabannya adalah tidak. Mengapa? Karena perguruan tinggi selama ini telah menjadi ‘pabrik’ lulusannya yang mengabdi pada bentuk perusahaan komersial yang kapitalistik. Apa yang diajarkan di perguruan tinggi itulah yang hendak dilawan dalam gerakan bisnis sosial.

Perguruan tinggi juga—menurut pimpinan School for Social Enterpreneurs, Alistair Wilson—tidak bisa mengakomodasi cukup banyak orang yang dibutuhkan untuk menggerakkan bisnis sosial. Hanya orang-orang tertentu yang bisa masuk kampus dan menjalani pendidikan di sana yang semakin mahal. Padahal, bisnis sosial butuh lebih banyak pasukan. Perguruan tinggi pun tidak memiliki mandat yang tegas untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Jadi, kalau perguruan tinggi ada pada bentuknya yang sekarang, harapan untuk dijadikan sebagai ujung tombak gerakan bisnis sosial tampaknya jauh panggang dari api.

Tapi benarkah demikian? Salah satu perguruan tinggi terbaik di dunia, Massachusetts Institute of Technology (MIT) menyatakan bahwa salah satu misinya adalah “...to bring knowledge to bear on the world’s great challenges.” MIT telah memandatkan dirinya sendiri untuk memecahkan berbagai masalah yang dialami warga dunia. Jadi, apa yang dinyatakan oleh Wilson tak sepenuhnya tepat, walau sebagian besar perguruan tinggi memang tidak seperti MIT dalam melihat perannya.

Perguruan tinggi memang bukan untuk semua orang, namun jelas juga bahwa perguruan tinggi bisa merancang agar manfaatnya melampaui ilmu pengetahuan yang diberikan kepada para mahasiswa dan lulusannya. Secara tidak langsung, perguruan tinggi bisa menebar manfaat lewat mereka. Atau, perguruan tinggi bisa juga membuat manfaat langsung dengan menjadi pusat ilmu pengetahuan yang bisa diakses oleh siapapun. Gerakan EdX dan Coursera membuktikan bahwa penyebaran ilmu pengetahuan lewat universtas juga bisa sangat massif, jauh melampaui cara-cara tradisional.

Juga, perlu diingat bahwa majoritas pemuka dalam bisnis sosial adalah lulusan perguruan tinggi. Jadi, walaupun perguruan tinggi memang menghasilkan para pekerja dan wirausaha yang berpikir dalam logika komersial-kapitalistik, ada banyak juga lulusannya yang tidak demikian.

Pertanyaan kemudian, apa yang bisa dilakukan perguruan tinggi bila ingin menjadi bagian dari gerakan perubahan bisnis dari yang komersial menjadi sosial? Artikel Three Ways Universities Can Dramatically Advance Social Enterprise (Stanford Social Innovation Review, 2 Maret 2017) yang dituliskan Ben Mangan, Claire Markham dan Kristiana Raube dari Haas Business School, UC Berkeley memberikan jawabannya.

Hal pertama yang perlu dilakukan perguruan tinggi adalah menghadirkan suara dari berbagai pemangku kepentingan ke dalam pembelajaran. Kalau di perguruan tinggi bentuk utamanya adalah dosen memberikan pengajaran dan para mahasiswanya menerima dan mendiskusikan secara terbatas, suara pemangku kepentingan menjadi sangat terbatas. Padahal, bisnis sosial didirikan untuk tujuan memecahkan masalah yang dihadapi oleh masyarakat, sehingga suara mereka perlu menjadi bagian sangat penting. Ini bisa dilakukan dengan membawa masuk pemangku kepentingan ke dalam ruang kelas sebagai sumber pengetahuan, ataupun membawa mahasiswa ke luar kelas. Di kelas-kelas bisnis UC Berkeley dan Perguruan tinggi Stanford kini sudah menjadi standar untuk membawa 100 suara pemangku kepentingan secara langsung maupun tidak dalam 11 kali pertemuan kuliah.

Hal kedua adalah melatih para mahasiswa untuk benar-benar memecahkan masalah nyata yang dihadapi oleh pemangku kepentingan. Hal ini mengharuskan para pengajar—atau lebih tepatnya disebut fasilitator—untuk menunjukkan bahwa masalah-masalah yang ada sesungguhnya tidak selalu sama penting dan urgennya untuk dipecahkan. Lalu, masalah-masalah penting dan urgen itulah yang menjadi pokok pembelajaran yang utama. Mahasiswa harus dilatih untuk menjadi preskriptif, sedetail mungkin berpikir memecahkan masalah; juga, menguji ide pemecahan maslah itu lewat prototipe.

Terakhir, perguruan tinggi memang perlu untuk memikirkan ulang perannya sebagai pembawa perubahan (changemaker). Kalau selama ini perguruan tinggi membawa manfaat dengan pengajaran dan penelitian, sesungguhnya peran itu bisa diperluas. Pengabdian kepada masyarakat bisa diredefinisi menjadi pemecahan masalah-masalah yang besar dan mendesak, seperti perubahan

iklim atau keberlanjutan secara luas. Pemecahan masalahnya bisa melalui aktivitas sosial, kebijakan publik, maupun model bisnis yang sesuai. Dan, pada yang terakhir inilah bisnis sosial dan perguruan tinggi bisa saling menguatkan.

Telah dimuat di harian Kontan, 16 03 2017

Saya tulis artikel ini bersama mas Jalal – Pendiri dan Komisaris Perusahaan Sosial WISESA

Comments