Pelajaran dari SIOLA

Artikel ini merupakan yang ketiga sekaligus penutup seri tulisan tentang SIOLA— singkatan dari Stimulasi, Intervensi, dan Optimalisasi Layanan Anak—yang digagas oleh Yayasan Karampuang dan PTTEP di Provinsi Sulawesi Barat. Popularitas inisiatif ini bukan saja telah menembus batas provinsi sehingga membuat banyak pemangku kepentingan dari provinsi lain berdatangan, melainkan juga telah membuat dunia internasional memberikan penghargaan.

Namun, apa sesungguhnya yang membuat SIOLA bisa mendapatkan keberhasilan yang bisa dibanggakan oleh mereka yang terlibat di dalamnya, sekaligus bisa menjadi pelajaran untuk banyak inisiatif pemecahan masalah ekonomi-sosial-lingkungan di Indonesia? Menurut kami, setidaknya ada enam hal.

Pertama, inisiatif ini benar-benar dimulai dengan data yang solid. Yayasan Karampuang memulainya dengan pengetahuan yang kokoh. Pengetahuan itu tadinya bahkan dimulai tidak spesifik untuk memecahkan masalah itu, melainkan datang dari pengumpulan seluruh data yang dibutuhkan untuk keperluan perencanaan pembangunan di tingkat desa dan kecamatan. Begitu data terkumpul, yayasan tersebut kemudian menyadari bahwa masalah pendidikan dan kesehatan anak-anak perlu untuk diselesaikan dengan ‘sekali merengkuh dayung’.

Ini adalah pelajaran yang luar biasa penting. Kebanyakan inisiatif untuk masyarakat tidak dimulai dengan data yang memadai. Ada banyak anggapan bahwa upaya mengetahui kondisi sesungguhnya—misalnya isu-isu, pemangku kepentingan, kebutuhan, aset, dan data dasar—hanyalah membuang-buang sumberdaya saja. Tetapi, sikap yang demikian sesungguhnya bisa membuat sumberdaya yang kemudian dicurahkan untuk inisiatif itu menjadi sia-sia lantaran tak tepat isu, sasaran, maupun metode intervensi. SIOLA, sebaliknya, mulai dari pengetahuan yang kokoh, dan dari situ tampak jelas isu, sasaran, dan metode intervensinya.

Kedua adalah soal kemitraan. Dalam tahapan pengumpulan data, Yayasan Karampuang mendapatkan sokongan dari Pemda. Ketika diketahui perlu data lebih dalam tentang pendidikan dan kesehatan anak, UNICEF-pun digandeng. Lebih jauh lagi, ketika intervensi hendak dilakukan, yayasan kemudian bertemu dengan PTTEP, sebuah perusahaan yang punya kepedulian tinggi, bukan sekadar menempatkan dirinya sebagai donatur belaka. Setiap mitra menambah kekuatan inisiatif ini. Mereka masing-masing memiliki kapasitas, dan turun langsung sesuai dengan kapasitas tersebut.

Ketiga, dan sangat terkait dengan pelajaran ketiga, adalah ko-investasi. Setiap mitra di atas sudah memberikan sumbangan sesuai kapasitas masing-masing. Namun, masih ada satu lagi pihak yang ekstra-penting, yaitu pemilik lahan. SIOLA hanya akan dibangun apabila ada pihak yang menyumbangkan lahan untuk menjadi lokasinya. Maka, kemudian muncullah anggota masyarakat yang memberikan lahannya, juga yayasan keluarga, pemerintah kabupaten, dan kepolisian. Ini menjadikan SIOLA benar-benar dimiliki oleh seluruh pihak yang terlibat.

Pemanfaatan beragam adalah pelajaran keempat. Indonesia memiliki masalah keterbatasan infrastruktur, namun kerap kali infrastruktur yang dibangun tak dimanfaatkan dengan optimal. SIOLA memerkenalkan bahwa gedung yang sama bisa dimanfaatkan untuk sekolah, untuk taman bermain, untuk posyandu, untuk pelayanan kesehatan manula, bahkan untuk kegiatan ekonomi. Dengan pemanfaatan yang beragam itu—tentu, dengan pengaturan waktu yang baik— maka investasi yang dikeluarkan oleh berbagai pihak itu kemudian menjadi benar-benar bermanfaat. Mungkin belum sepenuhnya optimal, namun jelas jauh lebih baik dibandingkan bangunan yang pemanfaatannya tunggal.

Kelima adalah dukungan kebijakan. Ketika pemerintah kabupaten dan provinsi mendapati kenyataan bahwa model yang dikembangkan oleh SIOLA menunjukkan hasil yang menggembirakan, dalam waktu yang tak terlampau lama dibuatlah kebijakan yang mengadopsinya. Dengan demikian, anggaran juga disediakan pemerintah daerah untuk pemeliharaan SIOLA yang sudah berdiri, dan untuk yang akan didirikan mengikuti model tersebut.

Pelajaran terakhir adalah soal exit strategy. PTTEP kini sedang berkonsentrasi menyelesaikan seluruh modul pelatihan bagi penyelenggara SIOLA. Namun mereka juga menyadari bahwa setiap SIOLA perlu sedapat mungkin memikirkan kemandirian keuangannya sendiri. Anggaran dari pemda dan dana desa tentu sangat membantu—dan sudah masuk ke dalam radar rencana pembiayaan

SIOLA di masa depan—namun gairah yang lain dari penyelenggara SIOLA jelas sangat menjanjikan. Beberapa SIOLA kini sedang membicarakan bagaimana bisa mengembangkan bisnis komunitas sesuai dengan sumberdaya lokal dan pengembangan produk yang mungkin dilakukan.

Demikianlah SIOLA, sebuah inisiatif dari Sulawesi Barat dengan kinerja yang baik. Pelajaran-pelajaran darinya sungguh berharga untuk diperhatikan dan layak untuk direplikasi.

Telah dimuat di harian Kontan, 28 12 2017

Saya tulis artikel ini bersama mas Jalal – Pendiri dan Komisaris Perusahaan Sosial WISESA

Comments