Panasea untuk LSM?


Sara Calvo dan Andres Morales, keduanya peneliti bisnis sosial dari Inggris, baru saja menerbitkan sebuah artikel menarik. Judulnya Sink or Swim: Social Enterprise as a Panacea for Non-Profit Organisations? Artikel itu ditampilkan di Journal of International Development, Vol. 28 2016, yang baru saja terbit bulan Oktober lalu.

Seperti judulnya, mereka memertanyakan apakah perusahaan sosial adalah jawaban universal untuk krisis sumberdaya yang banyak dialami oleh lembaga swadaya masyarakat di seluruh dunia. Panasea, alias obat segala penyakit, adalah metafora yang mereka pergunakan. Pertanyaan itu sangatlah penting karena memang banyak orang yang memandang demikian.

Calvo dan Morales memelajari kasus LSM di Tanzania yang memang mewakili banyak kondisi yang sama di seluruh dunia. LSM biasanya lahir, tumbuh, kemudian harus melakukan restrukturisasi untuk bisa bertahan. Ketika mau melakukan restrukturisasi itulah mereka memertimbangkan banyak pilihan, yang oleh Bhabha (1984) disebut sebagai global managerial discourse atau wacana manajerial global.

Banyak LSM memang memiliki kaitan dengan kekuatan global, misalnya donor dan lembaga-lembaga multilateral, sehingga ketika hendak melakukan restrukturisasi itu, pertimbangan globallah yang mereka ambil. Mereka ingin tahu, ada wacana mutakhir di tingkat global apakah yang paling sesuai dengan kebutuhan mereka itu.

Kebanyakan LSM kini mengalami krisis dalam sumberdaya finansial, tak terkecuali di Indonesia. Penyebab utamanya adalah berkurangnya pendanaan dari donor dan belum bisa diandalkannya pendanaan dari masyarakat. Yang kemudian mereka temukan beberapa tahun belakangan adalah bahwa model bisnis sosial sedang mengalami pertumbuhan pesat.

Model ini bisa menjawab dua kebutuhan mereka sekaligus: tetap memerjuangkan misi sosial, sekaligus mendapatkan sumber pendanaan yang

berkelanjutan. Bukankah sangat menarik bila keduanya bisa diraih? Inilah yang menyebabkan banyak LSM kemudian melihat model bisnis sosial sebagai jalan keluar dari krisis yang sedang mereka alami. Inilah arah restrukturisasi yang perlu mereka kejar.

Mengambil inspirasi dari pemikiran Bhabha tentang bagaimana LSM hibrida muncul, Calvo dan Morales kemudian melihat apa yang dilakukan oleh LSM untuk melakukan mimikri (peniruan) terhadap model bisnis sosial. Hasilnya cukup jelas. Ethos ‘tradisional’ LSM untuk bekerja untuk masyarakat tetap dipertahankan, sementara masuk pula nilai-nilai bisnis dari perusahaan sosial. Hasil inilah yang mereka sebut sebagai LSM hibrida.

Salah satu kasus yang mereka ikuti adalah sebuah LSM yang didirikan oleh 17 perempuan di Dar Es Salam pada tahun 1998. Mereka memiliki misi untuk membantu meringankan beban anak yatim dan anak dari keluarga miskin. Pada awalnya mereka mulai dengan membantu 20 anak saja, lalu berkembang hingga hampir 400 di tempat asalnya. Mereka kemudian membuka cabang organisasi di 4 kota lainnya, untuk melayani lebih banyak lagi penerima manfaat.

Apa yang kemudian terjadi adalah penurunan jumlah dana dari donor, dimulai pada tahun kesepuluh sejak pendiriannya. LSM tersebut melihat model bisnis sosial sebagai jalan keluar, dan kemudian melatih kaum perempuan dan membuka toko cinderamata di tahun 2009. Hasilnya cukup baik, sehingga tahun berikutnya mereka mengembangkan sebuah lahan pertanian sebagai bisnis sosial barunya.

Tetapi, itu sebetulnya bukan jalan yang mulus. Calvo dan Morales menyebut restukturisasi dengan model bisnis sosial sebagai pedang bermata dua. Selain peluang yang berhasil diraih dalam contoh kasus tersebut, sangat jelas pula bahwa tantangannya tidaklah kecil. Dari LSM yang mengandalkan pendanaan dari sumbangan masyarakat dan donor, mereka harus mengadopsi kewirausahaan. Ini berarti dibutuhkan pengetahuan dan keterampilan yang baru. Pada banyak kasus, ini juga berarti perlu dimasukkannya orang-orang dari latar belakang bisnis ke dalam LSM. Dan ini tidaklah mudah.

Sama dengan manajemen perubahan di organsisasi manapun, kesiapan berubah dan kehendak yang kuat untuk berubah di kalangan LSM adalah kunci suksesnya. Tanpa itu, sekalipun misi perubahan sosialnya mungkin dicapai dengan model bisnis sosial, kesuksesan akan sulit mereka raih. Bisnis sosial

memang bukan panasea bagi krisis sumberdaya yang dialami oleh LSM, walaupun jelas menyimpan potensi yang sangat dahsyat.

Telah dimuat di harian Kontan, 03 11 2016


Jalal – Pendiri dan Komisaris
Zainal Abidin – Pendiri dan Direktur Utama Perusahaan Sosial WISESA

Comments