Kemitraan kesehatan antara Dompet Dhuafa (DD) dan BUMN energi asal Thailand, PTTEP, di Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara, sudah berlangsung sejak 2014. Dalam peta jalan yang mereka buat, hampir semua kelengkapan sudah dipenuhi sejak 2015, pada tahun kedua beroperasinya LKC tersebut. Artinya, pada tahun 2015 sudah ada fasilitas laboratorium, farmasi, dokter umum, dokter spesialis penyakit dalam dan tuberkulosis, ahli nutrisi, dan bidan.
Ketika kami mengunjungi LKC ini di bulan Juli 2017, tempat tersebut sudah dilengkapi dengan instalasi gawat darurat. Di tahun ini juga target kelengkapan layanan neurologi dan dermatologi akan dipenuhi. Tahun depan, akan ada unit khusus HIV/AIDS. Target-target itu disusun berdasarkan pengetahuan mendalam soal apa yang menjadi permasalahan kesehatan di wilayah setempat.
Yang sangat menarik adalah bahwa apa yang dilakukan kemitraan itu bukanlah sekadar memberikan layanan kesehatan kuratif secara gratis—yang memang sangat diperlukan oleh masyarakat setempat, dibuktikan dengan antusiasme masyarakat yang selalu melampaui ekspektasi di setiap kegiatan—melainkan juga beragam hal lain yang jelas bisa meningkatkan status kesehatan seluruh masyarakat. Tentu, bagi mereka yang sakit, hadirnya sebuah fasilitas kesehatan yang relatif lengkap telah membuat kemudahan akses yang luar biasa, penurunan biaya kesehatan, dan peningkatan kesadaran kesehatan.
Tetapi, masih banyak dampak lainnya yang telah diidentifikasi oleh pihak ketiga dengan menggunakan sebuah metode pengukuran mutakhir, social return on investment (SROI). Ada para kader kesehatan yang dididik oleh LKC ini, yang jelas menunjukkan peningkatan pengetahuan, sikap, dan keterampilan terkait dengan kesehatan. Mereka juga melaporkan bahwa jiwa sosial mereka meningkat pesat. Anak-anak sekolah melaporkan juga soal pengetahuan yang membaik, dan penurunan angka tidak masuk kelas karena sakit.
Puskesmas Rorotan yang tadinya sangat kewalahan melayani pasien kemudian menjadi lega karena hadirnya LKC. Beban biaya kesehatan yang tadinya ditanggung sendirian oleh puskesmas tersebut juga menurun lantaran sebagian
pasien dilayani oleh LKC. Bahkan, DD sebagai pengelola LKC, mengakui ada banyak pelajaran yang bisa diambil untuk meningkatkan standar pelayanan yang bisa mereka berikan kepada penerima manfaat. Ini karena dukungan PTTEP memang tidak setengah-setengah. Termasuk kehadiran para karyawan hingga manajemen puncaknya ketika LKC memberikan pelayanan kesehatan.
Secara umum, sejak tahun pertama pendiriannya, LKC Rorotan sudah menunjukkan angka SROI di atas 1. Ini berarti memang projek tersebut memberikan manfaat sosial di atas biaya yang dikeluarkannya. Manfaat terbesar masih datang dari penghematan biaya berobat yang tadinya harus ditanggung masyarakat. Tadinya mereka harus menempuh perjalanan lebih jauh dan membayar biaya untuk mengakses fasilitas kesehatan yang setara. Sekarang, mereka bisa mendapatkannya di lokasi yang dekat, dengan gratis.
Tapi, SROI itu menunjukkan bahwa sesungguhnya manfaat yang lebih besar bisa diperoleh bila LKC ini semakin giat melaksanakan layanan promotif dan preventif. Biaya yang dipergunakan untuk kedua jenis layanan itu sangatlah rendah, namun hasilnya akan sangat baik untuk status kesehatan masyarakat setempat. LKC sudah pula menerbitkan berbagai informasi kesehatan ringkas yang baik—di antaranya terkait dengan diabetes, jantung, diet rendah purin, dan penyakit lambung—yang bila disebarkan melalui meme juga akan meningkatkan manfaat bagi masyarakat luas, bukan saja yang tinggal di Rorotan dan sekitarnya.
SROI bisa ditingkatkan dengan bekerjasama dengan BPJS kesehatan, dan penyediaan layanan kesehatan berbayar bagi mereka yang mampu. Jelas, ada banyak sumber keuangan yang bisa didapatkan oleh LKC sebaik Rorotan, apalagi dalam beberapa tahun ke depan PTTEP masih akan mendukung dengan peningkatan fasilitas. Sudah seharusnya, fasilitas tersebut juga diarahkan bagi penerima manfaat yang mampu membayar, sehingga kemandirian keuangan LKC ini bisa dicapai.
Tidak banyak organisasi yang menyediakan layanan kesehatan yang bisa menggabungkan layanan gratis dan berbayar secara optimal. Pelayanan kesehatan gratis biasanya seadanya, dan layanan yang baik biasanya mahal. Tapi LKC Rorotan ini ada dalam situasi yang memungkinkan keseimbangan optimal itu, bila dalam beberapa tahun ke depan bisa memastikan transformasi menjadi bisnis sosial kesehatan yang baik.
Semua prasyarat untuk menjadi bisnis sosial kesehatan tampaknya sudah tersedia di Rorotan, namun keberhasilan transformasi itu—yang ditandai dengan nilai SROI yang terus membesar—masih perlu kita tunggu. Semoga bisa tercapai dan bisa direplikasi oleh organisasi pelayan kesehatan lainnya.
Telah dimuat di harian Kontan, 24 08 2017
Saya tulis artikel ini bersama mas Jalal – Pendiri dan Komisaris Perusahaan Sosial WISESA
Comments
Post a Comment