Menjadi Bisnis Inklusif

Michael Blowfield, pakar tanggung jawab sosial perusahaan dari Inggris menyatakan bahwa ada tiga jenis hubungan antara perusahaan dan kemiskinan (Blowfield, 2007; 2010; 2012). Pertama, perusahaan bisa menjadi penyebab kemiskinan. Lantaran rencana bisnis yang jahat atau serampangan, bisnis yang dilakukan oleh perusahaan bisa menjadi penyebab kemiskinan warga masyarakat tertentu. Kedua, perusahaan bisa menjadi penyelesai masalah kemiskinan. Melalui bisnis inti yang baik, atau melalui investasi sosialnya, perusahaan sangat bisa membantu masyarakat keluar dari kemiskinan. Ketiga, perusahaan bisa menjadi korban kemiskinan. Bila perusahaan beroperasi di wilayah yang miskin dan pemerintahnya alpa, maka perusahaan bisa menjadi gantungan harapan satu-satunya masyarakat untuk keluar dari kemiskinan.

Tidak banyak pakar yang mengakui bahwa sesungguhnya potensi perusahaan menjadi penyelesai masalah kemiskinan sangatlah besar. Tetapi, belakangan, studi-studi semakin mengokohkan peran tersebut. Bukan lantaran perusahaan adalah organisasi mulia yang memang ingin mengentaskan masyarakat dari kubangan kemiskinan, melainkan karena ada berbagai cara yang memang ditemukan untuk menyatukan kepentingan untuk mendapatkan keuntungan sekaligus menyelesaikan masalah kemiskinan itu.

Pendekatan seperti fortune at the bottom of the pyramid (Prahalad dan Hart, 2002) dan creating shared value (Porter dan Kramer, 2011) memberikan keyakinan bahwa penyatuan tujuan sosial dan ekonomi itu adalah mungkin. Secara umum, berbagai pendekatan yang menyatukan tujuan disebut sebagai bisnis inklusif. Harvard Business Review edisi Januari-Februari 2018 memuat hasil penelitian terakhir tentang bisnis inklusif tersebut. Tak tanggung- tanggung, kali ini Robert Kaplan—sang penemu pendekatan sangat popular, balanced scorecard—yang menuliskannya, bersama George Serafeim, and Eduardo Tugendhat. Kaplan dan Serafeim adalah profesor di Universitas Harvard, sementara Tugendhat berasal dari konsultan Palladium.

Secara umum, mereka menyatakan bahwa kebanyakan upaya perusahaan untuk membantu pengentasan masyarakat miskin tidak cukup berhasil lantaran

memang tidak cukup ambisius, masih mengikatkan diri pada pendekatan berjangka pendek dan sifatnya non-sistemik. Lalu, mereka menguraikan empat prinsip yang bisa memandu perusahaan untuk bisa benar-benar menjadi inklusif—yaitu yang membantu menyelesaikan masalah kemiskinan dan ketimpangan sekaligus.

Prinsip pertama, “companies should search for systemic, multisector opportunities.” Di sini mereka menyatakan bahwa perusahaan harus menyasar perubahan sistemik, bukan sekadar menyentuh gejala-gejala kemiskinan. Dengan cara berpikir sistem, perusahaan bisa menyelami apa yang menjadi pola, struktur, bahkan model mental dari kemiskinan—lalu menyelesaikan dari level terdasar itu. Namun, penyelesaian yang mendasar itu hanya mungkin dilaksanakan secara multipihak dan multisektor.

Mobilize complementary partners” adalah prinsip kedua. Terkait dengan prinsip pertama, mendapatkan mitra yang mumpuni dan sama-sama memiliki perhatian dan ambisi untuk menyelesaikan masalah kemiskinan secara sistemik adalah keniscayaan. Kebanyakan perusahaan bukanlah pakar yang mengetahui segala hal terkait pengentasan kelompok miskin, namun mereka bisa belajar banyak dari mitra-mitra yang baik, selain berkolaborasi dalam sumberdaya.

Ketiga, prinsipnya adalah “obtain seed and scale-up financing.” Pembiayaan sangatlah penting. Perusahaan kerap menggunakan dana pengelolaan sosial untuk kepentingan ini, namun sesungguhnya itu mungkin hanya memadai di periode awal saja. Ketika hendak ditingkatkan skalanya, maka perusahaan harus melihatnya sebagai investasi pengembangan bisnisnya. Tentu, ini hanya mungkin terjadi bila perusahaan berpikir dalam jangka panjang. Pilihan lainnya adalah blended financing, di mana sumber-sumber keuangan komersial dan non-komersial bisa menghasilkan jumlah yang cukup untuk meningkatkan skala pengentasan kaum miskin.

Prinsip keempat dan terakhir, “implement a new measurement and governance system to build commitment, monitor progress, and sustain alignment among the key players involved in creating the new ecosystem.” Tentu saja, kalau perusahaan ngotot hanya menggunakan sudut pandang manfaat sosial atau keuntungan ekonomi semata, akan sulit untuk menciptakan perubahan sistemik. Sistem pengukuran dan tata kelola perusahaan harus diubah sehingga menjadi sesuai dengan tujuan penciptaan perubahan sistemik yang dicita- citakan.

Artikel Kaplan dkk semakin menunjukkan bahwa bisnis inklusif yang menganut blended value, atau tujuan ganda, adalah masa depan bagi seluruh bisnis. Masalah kemiskinan dan ketimpangan, apabila tidak diselesaikan, pada akhirnya akan membuat perusahaan menjadi korban, sebagaimana yang disampaikan oleh Blowfield pada awal tulisan ini. Satu-satunya masa depan yang masuk akal adalah perusahaan turut serta menyelesaikannya dengan menciptakan perubahan sistemik. Kaplan dkk telah menunjukkan bagaimana caranya, dan perusahaan yang rasional—baik perusahaan komersial ataupun sosial—perlu menyimak dan mempraktikkan keempat prinsip tersebut.

Telah dimuat di harian Kontan, 11 01 2017

Saya tulis artikel ini bersama mas Jalal - Pendiri dan Komisaris Perusahaan Sosial WISESA

Comments