Melelehnya Batas Bisnis Sosial/Komersial

“Generosity is no substitute for justice.” Begitu kata kolumnis terkenal Anand Giridharadas yang baru saja menerbitkan karya mutakhirnya, Winners Take All: The Elite Charade of Changing the World. Buku yang mengguncang kesadaran banyak orang itu segera menarik perhatian Neil Malhotra, profesor bisnis dan pimpinan Center for Social Innovation di Universitas Stanford. Artikel Malhotra yang mengomentari buku tersebut terbit di majalah Forbes edisi 17 Oktober 2018.

Malhotra mengamini pendirian Giridharadas tersebut. Dan penguatan pendirian tersebut agaknya sangat penting untuk memahami bagaimana bisnis yang baik itu harus dilakukan. Dahulu, ada pendirian bahwa pebisnis itu dituntun oleh keserakahan dan bisa melakukan apa saja demi mendapatkan keuntungan yang maksimal. Lalu, ketika keuntungan tersebut sudah ‘cukup’, maka si pebisnis mulai bisa memikirkan bagaimana dia berkontribusi kepada masyarakat luas.

Logika ‘taking’ lalu ‘giving back’ itulah yang dipandang sudah tak bisa dipertahankan lagi. Jelas, membolehkan pebisnis mengambil sesuatu dari masyarakat dan alam—bukan menukarnya dengan sesuatu yang nilainya setara atau lebih—adalah tindakan yang merugikan. Dan, sebagaimana yang banyak diketahui, apa yang dikembalikan kepada masyarakat itu, dalam logika giving back, jumlahnya adalah sangat kecil dibandingkan yang telah diambil.

Karenanya, banyak sekali pakar yang sejak lama melancarkan kritik atas logika tersebut. Aktivitas donasi, atau lebih luasnya filantropi, tentu saja baik, namun itu tak menggantikan praktik bisnis yang adil. Hanya apabila pebisnis itu menjalankan bisnisnya dengan adil sajalah maka aktivitas filantropi bisa dianggap sebagai tambahan kebaikan. Kalau ternyata dalam bisnisnya yang terjadi adalah mencuri atau bahkan merampok dari masyarakat dan alam, maka donasi itu sesungguhnya adalah upaya menutupi dosa belaka.

Apa yang kemudian ditekankan oleh Malhotra adalah bahwa bisnis apapun seharusnya membawa manfaat untuk masyarakat dan/atau lingkungan, yang

lebih besar daripada mudarat yang muncul. Mudarat itu harus diupayakan sekecil mungkin, direhabilitasi, dan dikompensasi. Sementara untuk membawa manfaat terbesar, bisnis harus mengetahui apa saja masalah yang ada di masyarakat dan bagaimana itu bisa dipecahkan melalui mekanisme pasar.

Malhotra adalah seorang profesor yang bertemu dengan berbagai jenis mahasiswa yang beraspirasi menjadi pebisnis. Di satu sisi, ada banyak mahasiswa yang dengan tegas telah melihat masalah sosial apa yang hendak dipecahkan, di sisi lain ada banyak juga mahasiswa yang ingin menjalankan bisnis dengan keuntungan sebagai motivasinya. Tetapi, ekstrem seperti itu makin jarang ditemukan di sekolah bisnis di mana ia mengajar. Ia melihat bahwa batas-batas antara bisnis sosial dan bisnis sosial telah semakin kabur. Seluruh rencana bisnis kini telah sangat jelas mengajukan value proposition yang membawa manfaat bagi masyarakat, terutama kelompok-kelompok yang dahulunya kerap dianggap remeh oleh perusahaan komersial.

Ia mencontohkan Blue River Technology, sebuah perusahaan yang membantu petani untuk melakukan pengelolaan hama dengan presisi, melalui teknologi informasi canggih seperti machine learning dan computer vision. Petani tentu sangat terbantu kalau tak perlu menyemprot seluruh lahannya dengan pestisida, melainkan hanya di tempat yang membutuhkannya. Dan ini jauh lebih baik buat alam. Perusahaan lainnya, D. Light telah membantu menyediakan panel surya untuk 20 juta pelanggan di 62 negara. Target mereka, membantu 100 juta pelanggan hingga tahun 2020. Dengan harga yang lebih murah dan emisi yang lebih rendah, perusahaan ini membantu pemecahan masalah energi, ekonomi, dan lingkungan sekaligus.

Malhotra menyatakan bahwa para pebisnis itu, walaupun sangat mirip dengan para pebisnis sosial, tidaklah mengklaim diri dengan label itu. Mungkin lantaran mereka tidak mau mendedikasikan majoritas keuntungan yang mereka peroleh untuk direinvestasikan kembali, seperti pengertian bisnis sosial pada umumnya. Namun, dalam hal tujuan menyelesaikan masalah di masyarakat; melalui mekanisme pasar; dengan inovasi sosial; dengan proses produksi dan produk yang ramah ekonomi, sosial, dan lingkungan; mereka tak ada bedanya dengan pebisnis sosial.

Jelaslah bahwa batas-batas yang tadinya tegas antara bisnis sosial dengan komersial kini telah meleleh. Sekolah bisnis, karenanya tak bisa lagi mengajarkan keduanya sebagai sesuatu yang terpisah. Manfaat sosial harus jadi

tujuan bisnis. Memang tugas sekolah bisnis tak selalu making social enterprise, namun kini mereka harus memastikan making enterprise social.

Telah dimuat di harian Kontan, 25 10 2018

Saya tulis artikel ini bersama mas Jalal – Pendiri dan Komisaris Perusahaan Sosial WISESA

Comments