Masyarakat 4.0 dan Bisnis Sosial (2)

Pada tulisan sebelumnya, kami sudah mengungkapkan bahwa ekonomi yang kompatibel dengan masa depan, menurut pemikiran Kate Raworth, adalah ekonomi yang bersifat regeneratif dan redistributif. Regeneratif berarti memulihkan dan meningkatkan daya dukung lingkungan dan sosial sehingga Bumi bisa menanggung jumlah manusia yang terus bertambah. Redistributif berarti ekonomi yang memihak kepada kebaikan semua orang, yang mengikis ketimpangan.

Lalu, mengapa Raworth menyatakan bahwa bisnis sosial-lah yang kompatibel dengan tujuan tersebut? Bisnis komersial, menurut banyak pakar, sebetulnya adalah salah satu sumber masalah terpenting mengapa dunia ada dalam kondisi kerusakan lingkungan dan sosial seperti sekarang. Bisnis komersial, walaupun membawa kemajuan relatif dalam ekonomi, namun mengorbankan aspek lingkungan dan sosial.

Hal tersebut dikarenakan setidaknya tiga hal. Pertama, karena bisnis komersial menempatkan pencarian keuntungan sebagai tujuan utama, kalau bukan satu- satunya tujuan. Shareholder primacy, atau pengutamaan pemilik modal dibandingkan pemangku kepentingan lain, telah membuat banyak perusahaan gelap mata, membuat keputusan-keputusan yang hanya menguntungkan diri sendiri, tanpa menimbang dampaknya terhadap pemangku kepentingan lain.

Kedua, karena bisnis komersial mengidap short-termism, yang membuatnya selalu mau mendapatkan keuntungan dalam jangka pendek. Ini membuat keputusan- keputusan yang seharusnya bisa menguntungkan dalam jangka panjang sulit diambil. Perusahaan lebih senang mengambil keuntungan sekarang daripada berinvestasi jangka panjang.

Terakhir, bisnis komersial berusaha untuk selalu membebankan biaya sosial dan lingkungan kepada pihak lain, sementara seluruh keuntungan diambil sendiri.

Socializing costs, privatizing profits adalah mantra yang membuat perusahaan komersial banyak menimbulkan eksternalitas negatif atau mudarat kepada masyarakat.

Tentu saja, tidak semua perusahaan komersial begitu. Mereka yang sudah terpapar pada ide keberlanjutan biasanya tidak lagi seperti itu. Namun, kebanyakan perusahaan komersial ketika bicara keberlanjutan itu masih terpaku pada minimisasi kerusakan, belum beranjak kepada pemulihan dan regenerasi. Begitu yang disimpulan Nardia Haigh dan Andrew Hoffman dalam The New Heretics: Hybrid Organizations and the Challenges They Present to Corporate Sustainability(2014).

Organisasi hibrid, nama lain dari bisnis sosial, bercir-ciri sebaliknya. Tujuan pendiriannya adalah maksimisasi manfaat. Pemikirannya selalu berjangka panjang. Biaya sosial dan lingkungan masuk dalam perhitungan, sementara majoritas keuntungan malah direinvestasikan untuk bisa melayani lebih banyak lagi penerima manfaat. Tentu, ketiga sifat ini membuat Raworth menekankan pentingnya bisnis sosial sebagai sokoguru ekonomi masa depan.

Otto Scharmer menekankan pada perkembangan lebih lanjut dari masyarakat. Kalau dulu ada Masyarakat 1.0 (hierarkhi), Masyarakat 2.0 (kompetisi), dan Masyarakat 3.0 (negosiasi), masa depan--bila manusia ingin selamat--hanya kompatibel dengan Masyarakat 4.0 yang dicirikan dengan kesadaran ekosistem.

Seluruh institusi pada Masyarakat 4.0 tersebut akan memiliki kesadaran penuh atas dampaknya terhadap ekosistem, dan berusaha untuk menimbulkan dampak positif terhadapnya. Secara eksplisit, Scharmer sendiri menyatakan bahwa bisnis yang kompatibel adalah bisnis berkelanjutan dan bisnis sosial. Institusi keuangan sendiri akan bersifat fully externality aware markets. Dengan demikian, tak ada lagi kapital yang bisa dipergunakan untuk merusak alam dan tatanan sosial, sementara aliran kapital menuju bisnis berkelanjutan dan bisnis sosial akan menjadi semakin besar.

Masyarakat 4.0 dan turunannya, Ekonomi 4.0 dan Industri 4.0, seharusnya menjadi panduan dan aspirasi bagi Indonesia. Kita seharusnya tidak sekadar sibuk dengan Teknologi 4.0 tetapi lupa pada substansi yang lebih dalam, yaitu ekonomi yang regeneratif dan redistributif, yang disandarkan pada kesadaran ekosistem

sepenuhnya. Pada kondisi itu, bisnis sosial akan menjadi pilihan yang lebih masuk akal dibandingkan bisnis komersial.

Telah dimuat di harian Kontan, 31 05 2018

Saya tulis artikel ini bersama mas Jalal - Pendiri dan Komisaris Perusahaan Sosial WISESA

Comments