Anda memimpin sebuah institusi yang menghimpun dana untuk, - sebut saja, membeli sandal jepit yang akan didistribusikan di mesjid atau mushalla di seluruh negeri. Dana terkumpul banyak sekali. Lalu, dengan kewenangan yang ada, anda menunjuk sebuah perusahaan produsen sandal jepit, - yang sahamnya juga anda miliki, sebagai pemasok tunggalnya. Anda juga menunjuk sebuah perusahaan jasa pengiriman, yang sahamnya dimiliki oleh staf anda. Itu salah satu model insider trading.
Dalam pengertian umum, Insider trading adalah aktifitas perdagangan saham atau pun sekuritas tertentu oleh individu yang mempunyai akses tentang informasi non publik dari perusahaan tersebut. Dengan kata lain, perdagangan efek perusahaan yang dilakukan oleh orang yang dikategorikan sebagai orang dalam, yang memiliki informasi rahasia tentang produk yang diperdagangkan.
Bagaimana implementasinya dalam dunia sosial? Mestinya lebih ketat lagi. Praktek-praktek menunjuk pribadi/orang dalam menjadi pemasok (produk atau jasa) bagi kebutuhan lembaga, seharusnya dihindari. Kepentingan pribadi (yang tidak bisa dirupiahkan) saja nggak boleh masuk, apalagi yang ada kaitannya dengan keuntungan finansial pribadi/sekelompok orang dalam organisasi. Jangankan langsung ikut dalam transaksi, sekedar memberikan informasi rahasia soal harga beli kepada pemasok saja, itu sudah melanggar etika.
Ini pengalaman pribadi, walau sudah cukup lama terjadi. Pernah di suatu masa, sebagai direktur sebuah lembaga sosial yang cukup besar (kelolaan dana total dalam setahun mencapai 12 M), saya bukan saja memiliki banyak anak buah, tetapi juga memiliki cukup banyak atasan yang berpengaruh. Pengalaman bertahun-tahun di dunia korporasi, membuat saya cukup paham soal 'how to serve the boss'.
Suatu ketika, salah seorang atasan saya menghubungi, untuk meminta tolong, dipinjami mobil. Istri beliau, yang memiliki usaha catering, harus mengantar makanan ke suatu tempat, dan mobil yang biasa dipakai dalam kondisi mogok.
Saya perintahkan seorang sopir untuk membantu beliau, dengan satu pesan singkat. Layani sebaik mungkin, sampai tuntas. Jemput makanan di rumah, antar ke tempat tujuan, dan sorenya dijemput kembali. Sorenya, atasan saya itu, menelepon seraya mengucapkan terima kasih karena sudah dibantu.
Keesokan harinya, pengemudi yang saya tugasi menyerahkan amplop berisi sejumlah uang, sebagai uang sewa mobil. Saya katakan padanya, kembalikan ...
Siangnya, saya ditelepon kembali. Kali ini dengan nada tinggi. Mungkin agak marah.
'Kamu jangan mulai mencederai kredibilitas saya, kredibilitas lembaga ini. Jangan mentang-mentang saya pejabat di sini, kamu layani saya dengan sangat baik. Sampai istri saya pun, ikut mendapatkan benefit atas jabatan saya. Terima kembali uang sewa mobil ini. Jangan mulai merusak tatanan yang sudah saya bangun. Ingat itu!'
Skak mat! Saya tak bisa bicara apa-apa lagi kecuali mengucapkan terima kasih. Dan hari itu saya dapat pelajaran berharga : pemisahan kepentingan pribadi dan kepentingan lembaga. Bukan mencampur-adukkannya.
Saya jadi ingat dengan kisah kejujuran salah satu pejabat di zaman orde lama, bung Hatta. Pernah suatu ketika istri Bung Hatta lama menabung untuk bisa membeli sebuah mesin jahit. Namun, ternyata beliau merasa kecewa karena uang tabungannya tak kunjung cukup memenuhi keinginannya. Pemerintah saat itu memberlakukan kebijakan sanering atau pemotongan nilai mata uang menjadi 10 persen dari nilai semula. Uang 100 menjadi 10. Padahal saat itu, jika tidak ada sanering, mesin jahit kualitas tinggi bisa terbeli dengan uang tabungan. 'Ini rahasia negara, Bu. Tidak boleh bocor ke siapa pun'.
Bertahun-tahun setelah itu, nilai-nilai yang ditanamkan dengan cara agak keras itu, tetap diupayakan untuk dijaga, walau beberapa kawan sering bertanya : sampai sebegitu ketatkah aturannya?
Comments
Post a Comment