Bisnis Sosial untuk Indonesia

Banyak orang menyampaikan rasa iri terkait dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah negara-negara lain untuk mendukung perkembangan bisnis sosial di negaranya masing-masing. Di Amerika Serikat dan Inggris ada regulasi khusus untuk perusahaan sosial, sehingga kewajiban dan hak perusahaan sosial menjadi berbeda dibandingkan dengan perusahaan komersial. Pemerintah Cina mencanangkan menggunakan 1% dari keuntungan BUMN-nya untuk menjadi modal bagi bisnis sosial. Singapura menggunakan pendekatan yang lain, yaitu pengaturan mentoring bagi bisnis sosial oleh para pebisnis paling handal.

Mengapa pemerintah-pemerintah itu melakukannya? Kalau dokumen- dokumen pemerintahan di negara-negara tersebut diperiksa, jawabannya jelas. Mereka semua sudah percaya bahwa bisnis sosial akan memainkan peranan yang sangat penting dalam mencapai kesejahteraan, keadilan dan keberlanjutan di negara masing-masing. Kalau hal ini kami sampaikan, biasanya pertanyaan lebih lanjut kami dapatkan. “Kalau begitu, apakah Pemerintah Indonesia belum menyadari potensi kekuatan bisnis sosial untuk mencapai hal-hal baik tersebut?”

Kami belum pernah melakukan penelitian soal bagaimana persepsi aparat Pemerintah di sini terkait dengan bisnis sosial. Sebagai fenomena yang relatif baru—walau ada yang berargumentasi bahwa koperasi adalah bisnis sosial dan sudah sejak lama berada di negeri ini—tidaklah begitu mengherankan kalau perhatian belum cukup diberikan. Kalau belum ada cukup banyak kisah sukses bisnis sosial dipublikasikan secara massif, tentu saja potensinya belum bisa dipahami sepenuhnya. Begitu pendirian kami.

Karena kami berpendapat seperti itu, yang kami lakukan adalah mengupayakan agar ide ini terus tersebar sehingga mencapai tipping point-nya. Bagaimanapun, kalau bisnis sosial terus dikembangkan, maka akan ada suatu titik waktu di masa mendatang di mana masyarakat akan sadar tentang kehadiran dan manfaatnya. Untuk mencapai kondisi tersebut, kami menyarankan enam hal yang perlu dilakukan di Indonesia.

Pertama, menarik semakin banyak orang untuk menjadi wirausahawan sosial. Ini perlu dilakukan dengan terus-menerus memasarkan ide tentang bisnis sosial dan kebaikannya. Dalam pengalaman kami, ada cukup banyak orang yang tertarik dengan ide ini karena memang banyak pebisnis yang bersifat altrusitik atau setidaknya memang tak ingin untung sendirian. Ketika ide tentang bisnis sosial disampaikan, mereka hampir secara otomatis tertarik. Kedua, meningkatkan kapabilitas para pebisnis sosial. Di luar soal motivasi dan penghargaan yang tinggi kepada keadilan ekonomi dan kelestarian sosial dan lingkungan, sesungguhnya proses bisnisnya tak berbeda jauh dari bisnis komersial. Para pebisnis sosial tetap perlu menjadi business savvy agar sukses dalam membawa manfaat bagi masyarakat dan mengembangkan bisnisnya ke jenjang yang lebih tinggi. Mereka perlu terus diingatkan bahwa semakin sukses bisnisnya, semakin besar manfaat yang mereka ciptakan.

Ketiga, mempublikasikan berbagai kisah sukses—dan gagal—dalam bisnis sosial, sehingga semakin banyak pelajaran yang bisa diambil oleh mereka yang ingin menapaki bisnis sosial. Publikasi ini juga akan menarik perhatian para pemangku kepentingan, termasuk Pemerintah, sehingga mereka bisa menjadi pendukung gerakan bisnis sosial. Terkait dengan hal itu, hal keempat yang perlu dilakukan adalah bekerja sama dengan universitas untuk menuliskan studi kasus dan mengajarkannya di jurusan bisnis maupun ilmu-ilmu sosial dan lingkungan. Dengan demikian, akan semakin banyak juga refleksi atas bisnis sosial di Indonesia.

Kelima, menarik minat semakin banyak investor sosial yang mau mempertimbangkan manfaat sosial dan lingkungan selain keuntungan finansial sebagai kinerja yang mereka dambakan. Hal ini misalnya bisa dilakukan dengan membantu pengukuran kesuksesan sosial dengan alat ukur social return on investment (SROI). Dengan alat ukur itu, akan jelas terlihat bahwa bisnis sosial memang bukan saja membawa manfaat sosial, namun juga menghasilkan keuntungan finansial yang tak kalah dibandingkan bisnis komersial. Terakhir, menciptakan platform khusus untuk memudahkan akses bisnis sosial terhadap berbagai jenis kapital. Bukan saja berupa penciptaan pasar modal dan pasar tenaga kerja khusus untuk bisnis sosial, melainkan juga infrastruktur pendukungnya seperti pemeringkatan.

Kalau keenam hal ini terus diperjuangkan, maka suatu saat Pemerintah Indonesia akan menoleh, memperhitungkan potensi bisnis sosial, lalu menciptakan kebijakan yang bisa mendorong pertumbuhannya lebih pesat lagi. Semoga.

Telah dimuat di harian Kontan, 18 08 2016

Saya tulis artikel ini bersama mas Jalal – Pendiri dan Komisaris Perusahaan Sosial WISESA


Comments