Bisnis Sosial untuk Ekonomi yang Inklusif

British Council dan UN ESCAP akhirnya meluncurkan juga dokumen yang sudah sangat ditunggu-tunggu kehadirannya di Indonesia. Developing an Inclusive and Creative Economy: The State of Social Enterprise in Indonesia, demikian judul hasil penelitian yang dipublikasikan secara resmi pada tanggal 17 Desember 2018 itu. Agaknya, ini adalah dokumen kedua yang memotret secara lengkap perkembangan perusahaan-perusahaan sosial di Indonesia setelah Boston Consulting Group meluncurkan dokumen The Art of Sustainable Giving: Priorities to Accelerate Social Enterprise Growth in Indonesia bulan Mei 2015 lampau.

Dibandingkan publikasi BCG tiga setengah tahun lampau, perkembangan perusahaan sosial di Indonesia bisa dikatakan cukup pesat. “The social enterprises surveyed in this research represent a strong, emerging sector and are demonstrating their potential to address social and environmental problems in Indonesia.” Demikian yang dicantumkan di dalam dokumen. Jadi, memang kita sedang menyaksikan munculnya perusahaan-perusahaan yang melihat dirinya sebagai kekuatan untuk memecahkan berbagai masalah sosial dan lingkungan di Indonesia melalui pendekatan pasar. Dan, jumlah perusahaan yang demikian tidaklah sedikit. Perkiraan yang diajukan dalam dokumen ini, ada 342.000 perusahaan sosial di Indonesia.

Apa saja hasil penelitian yang dapat dibaca di dalam dokumen setebal 101 halaman itu? Pertama, perusahaan sosial adalah fenomena generasi muda. Mereka yang berkecimpung di perusahaan sosial memang didominasi oleh pemuda 18-44 tahun. Hanya ada 12% dari yang berkecimpung di perusahaan sosial yang berusia 45 tahun ke atas. Yang terbanyak, 46%, ada di golongan usia 25-34 tahun.

Kedua, kalau pada perusahaan komersial, dominansi lelaki sebagai pemimpin bisnis sangatlah kuat, di perusahaan komersial kondisinya hampir-hampir berimbang. Sejumlah 41% perusahaan sosial dipimpin oleh lelaki; dan 40% oleh perempuan. Sisanya? Ini adalah fenomena yang sangat menggembirakan: 19% perusahaan sosial memiliki kepemimpinan bersama lelaki dan perempuan.

Sementara, dari sisi pekerjanya, dominansi perempuan sangat kuat. Perempuan menempati 69% dari total pekerja, dan lelaki anya 31%.

Ketiga, masih terkait dengan ketenagakerjaan, antara tahun 2016-2017 saja banyak sekali kemajuan dalam partisipasi perempuan di bisnis sosial. Sejumlah 42% perusahaan sosial yang disurvei melaporkan peningkatan jumlah tenaga kerja penuh waktunya. Khusus tenaga kerja perempuan, 26% melaporkan peningkatan pekerja perempuan paruh waktu; tetapi, angkanya malah jauh lebih besar lagi dalam tenaga kerja penuh waktu, yaitu 99%. Sifat fleksibel dari banyak bisnis sosial agaknya memang membuat banyak perempuan tertarik masuk ke dalamnya, sehingga mereka bisa mengaktualisasikan dirinya di dalam karier dan tetap mengerjakan tugas domestiknya dengan baik.

Temuan keempat adalah soal strategi meningkatkan skala bisnis dan dampak sosialnya. Ada lima strategi utama yang dipergunakan, yaitu membuat dan meluncurkan produk baru; menarik pelanggan dan klien baru; meningkatkan penjualan terhadap pelanggan yang sudah ada; ekspansi ke daerah lain; serta menarik investasi baru untuk membiayai ekspansinya. Strategi tersebut tampaknya tidak berbeda dengan apa yang dilakukan oleh bisnis komersial. Namun, temuan berikutnya memberi gambaran bahwa terdapat perbedaan yang jelas di antara keduanya.

Kelima, ketika ditanya apa yang menjadi prioritas paling penting dari bisnisnya, 67% menyebutkan peningkatan penjualan barang dan jasanya; 58% menyebutkan peningkatan kondisi kelompok masyarakat tertentu yang menjadi penerima manfaat bisnisnya; dan 50% menyatakan meningkatkan ketenagakerjaan yang inklusif. Tentu, lantaran barang dan jasa perusahaan sosial itu ditujukan untuk memecahkan masalah tertentu, maka meningkatkan penjualan pun berarti meningkatkan manfaat sosial bisnisnya. Penerima manfaatnya sendiri sangat jelas menggambarkan itu: 62% menyebut masyarakat lokal, 48% menyasar perempuan; dan 44% menyasar kelompok muda.

Keenam, perusahaan sosial di Indonesia sangatlah dekat dengan industri kreatif, pertanian dan perikanan, serta pendidikan. Ketiganya adalah industri yang paling banyak dimasuki oleh perusahaan sosial di Indonesia, dengan persentase berturut-turut 22%, 16%, dan 15%.

Terakhir, ketika ditanya apa yang menjadi tantangan terbesar yang mereka hadapi, para pebisnis sosial menyatakan kurangnya akses atas modal (47%) dan pendanaan hibah (32%); disusul kemudian dengan kurangnya keterampilan

manajerial (31%) dan kesulitan merekruit staf (29%). Jelas, pendanaan dan sumberdaya manusia adalah dua isu terbesar yang perlu dipecahkan agar bisnis sosial di Indonesia bisa mencapai potensi tertingginya.

Telah dimuat di harian Kontan, 20 12 2018

Saya tulis artikel ini bersama mas Jalal - Pendiri dan Komisaris, Perusahaan Sosial WISESA

Comments