Belajar Bisnis Sosial – Bagian Pertama dari Dua Tulisan

GlobeScan, SustainAbility dan Sustainable Brand meluncurkan hasil survei global bertajuk The 2016 Sustainability Leaders di awal bulan Juni. Sejumlah 907 orang pakar keberlanjutan menjadi sumber informasi survei tahunan tersebut. Salah satu hasilnya adalah bahwa perusahaan-perusahaan sosial dinilai sebagai penyumbang keberlanjutan yang sangat penting.

Perusahaan sosial berada di peringkat kedua dalam sumbangan kepada keberlanjutan, hanya satu peringkat di bawah LSM. Penting untuk diingat bahwa LSM adalah salah satu aktor pembangunan yang sudah sangat lama. Sementara perusahaan sosial masih terbilang baru di jagad pembangunan, namun prestasinya telah melampaui universitas, kemitraan multipihak, PBB, swasta, bahkan pemerintah. Yang disebut terakhir ini selalu berada di nomor buncit dalam peringkat sumbangan terhadap keberlanjutan.

Kalau melihat prestasi hebat tersebut yang diperoleh dalam waktu yang terbilang singkat, tampaknya dunia memang membutuhkan lebih banyak lagi orang yang bisa melihat berbagai persoalan ekonomi-sosial-lingkungan, lalu menemukan solusi bisnisnya.

Ini bisa dicapai dengan pendidikan informal dan non-formal sebagaimana yang selama ini sudah berjalan. Pendidikan formal para pebisnis sosial sendiri memang beragam. Namun, dengan semakin mendesaknya berbagai masalah global, banya di antara para pakar keberlanjutan melihat perlunya memasukkan bisnis sosial ke dalam kurikulum pendidikan.

Roger Martin dan Sally Osberg menulis buku Getting Beyond Better: How Social Entrepreneurship Works di tahun 2015. Di tahun 2016, Rotman Business School di Universitas Toronto menjadikan buku itu sebagai dasar kurikulum perusahaan sosial. Secara garis besar, kurikulumnya dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu pertama tentang konteks kerja dari para pebisnis sosial, dan kedua tentang bagaimana mereka melakukannya. Kulminasi dari silabus 12 minggu itu adalah pada pengukuran dampak.

Minggu pertama para mahasiswanya akan belajar apa itu bisnis sosial, perusahaan sosial, dan kewirausahaan sosial. Ini merupakan bagian perkenalan dari keseluruhan perkuliahan. Artikel Martin dan Osberg (2007) yang bertajuk Social Entrepreneurship: The Case for Definition yang diambil dari jurnal Stanford Social Innovation Review Vol. 5/2 diambil sebagai salah satu bacaan wajib. Artikel ini memang telah menjadi klasik dan menjadi rujukan siapapun yang ingin mengetahui secara kokoh pengertian-pengertian terkait bisnis sosial.

Berikutnya, para mahasiswa diperkenalkan pada cara-cara yang telah dipergunakan oleh para pebisnis sosial untuk memecahkan masalah-masalah rumit yang dihadapi umat manusia. Pemikiran Gregory Dees tentang pemecahan masalah keberlanjutan lewat mekanisme pasar menjadi dasar terpenting pembahasan. Namun, ada juga bacaan lain yang penting, yaitu Disruptive Innovation for Social Change, karya mahaguru inovasi dari Universitas Harvard, Clayton Christensen dkk yang terbit di Harvard Business Review edisi Desember 2006. Ini untuk menekankan bahwa solusi pasar yang diajukan oleh para pebisnis sosial haruslah inovatif, karena biasanya pasar memang tidak digerakkan oleh kepentingan penyelesaian masalah.

Minggu ketiga pembahasannya semakin menarik, yaitu tentang mindset dan model mental yang harus dimiliki para pebisnis sosial. Di sini, silabus mengandalkan karya-karya ilmiah tentang bagaimana kondisi psikologis memegang peranan penting dalam pemecahan masalah. Selain itu, karya-karya terpenting dalam ilmu ekonomi perilaku, yaitu buku Nudge yang ditulis Richard Thaler dan Cass Sunstein (2008) serta Thinking Fast and Slow dari Daniel Kahneman menjadi rujukannya. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh berbagai catatan ilmiah seputar bisnis sosial, benak para pebisnis sosial memang berbeda dibandingkan dengan pebisnis lainnya.

Minggu keempat dan kelima membandingkan inovasi yang dilakukan perusahaan dengan transformasi yang dilakukan pemerintah. Dari sudut pandang bisnis, buku Good to Great and the Social Sectors buah pemikiran Jim Collins (2005) menjadi salah satu sumber. Sementara, ceramah Dave Meslin dalam TED Talk berjudul The Antidote to Apathy menjadi rujukan untuk transformasi oleh pemerintah.

Bagian pertama perkuliahan itu jelas-jelas sangat menarik, dan bisa menjadi ajakan untuk siapapun menjadi pebisnis sosial. Dan, kami akan membahas bagian kedua dari silabus tersebut di tulisan mendatang.

Telah dimuat di harian Kontan, 09 06 2016

Saya tulis artikel ini bersama mas Jalal – Pendiri dan Komisaris Perusahaan Sosial WISESA

Comments