Bisnis sosial punya salah satu ciri yang membedakannya dengan bisnis komersial, yaitu soal akuntabilitas. Walaupun secara teoretis dan normatif pendirian Edward Freeman, yaitu bahwa perusahaan seharusnya menunjukkan akuntabilitasnya terhadap seluruh pemangku kepentingan, namun pada praktiknya kebanyakan perusahaan komersial menganggap bahwa akuntabilitasnya terutama pada pemilik modal. Bisnis sosial bersetuju sepenuhnya dengan Freeman dan jauh lebih kuat mempraktikannya.
Menurut AA1000 Accountability Principles 2018, dokumen tentang akuntabilitas paling otoritatif, akuntabilitas didefinisikan sebagai “...the state of acknowledging, assuming responsibility for and being transparent about the impacts of an organisation’s policies, decisions, actions, products, services and associated performance.” Sementara, ada 4 prinsip akuntabilitas, yaitu inklusif, material, responsif, dan dampak.
Inklusif berarti bahwa seluruh pemangku kepentingan yang berpotensi terkena dampak harus mendapatkan tempat dalam pengambilan keputusan. Material artinya seluruh isu keberlanjutan yang penting harus diidentifikasikan dan dibahas. Responsif adalah tindakan organisasi yang transparen terhadap dampak keberlanjutannya. Dampak sendiri diartikan pengaruh jangka panjang dari operasi dan produk organisasi yang dipantau, diukur dan diakui oleh organisasi tersebut.
Lalu, seperti apakah praktiknya? Hal itulah yang ingin dijawab oleh penelitian Astrid Bradford, Belinda Luke dan Craig Furneaux, yang berjudul Social Enterprise Accountability: Directions, Dominance and Developments, yang diterbitkan pada Social Enterprise Journal, Vol. 14/2, 2018. Dari penelitian tersebut sangat jelas terlihat bahwa praktik akuntabilitas perusahaan sosial memang lebih luas, daripada yang ditunjukkan majoritas perusahaan komersial.
Perusahaan sosial yang diteliti oleh Bradford dkk itu menunjukkan dua jenis akuntabilitas, yaitu yang formal dan dan kurang formal. Yang formal ditunjukkan utamanya kepada parent organisation yang memayungi mereka, kepada pemerintah, serta kepada pelanggan komersial utama. Yang kurang formal ditunjukkan kepada para penerima manfaat, karyawan, seta pelanggan komersial lainnya. Hal tersebut mereka nyatakan secara terbuka di dalam dokumen- dokumen perusahaan, sehingga memang menunjukkan logika yang berbeda dengan perusahaan komersial kebanyakan.
Lewat saluran mana saja akuntabilitas itu ditunjukkan? Terdapat saluran-saluran yang terbuka untuk publik seperti website perusahaan dan media sosial. Di situ yang banyak dicantumkan adalah soal kinerja keuangan dan kinerja sosial yang telah dicapai, selain berbagai informasi tentang misi dan kegiatan bersama dengan para penerima manfaat. Ada juga dalam bentuk laporan khusus, internal maupun eksternal, namun kebanyakan masih bisa diakses oleh publik. Kebanyakan laporan ini isinya adalah kinerja blended value (finansial dan sosial) dari perusahaan sosial. Ada juga laporan tertentu yang dibuat namun bukan untuk konsumsi publik, melainkan untuk pemangku kepentingan tertentu. Kinerja keuangan dan sosial di luar siklus pelaporan atau yang belum diaudit biasanya memang belum dipublikasikan.
Dari berbagai saluran dan konten komunikasi perusahaan sosial, para pembacanya bisa membedakan bahwa memang isu akuntabilitas ini ditangani jauh lebih serius oleh perusahaan sosial. Kalau pada perusahaan komersial yang berpikir bahwa akuntabilitas utamanya adalah kepada para pemilik modal, hal utama yang ditunjukkan adalah kinerja finansial; pada perusahaan sosial yang melihat kinerja finansial sebagai hal yang maksimal sama pentingnya dengan manfaat sosial— bahkan secara kurang tepat dipandang sekunder—akuntabilitasnya memang pada blended value itu.
Hasil studi tersebut juga menunjukkan bahwa akuntabilitas perusahaan sosial lebih rumit dan detail dibandingkan akuntabilitas organisasi masyarakat sipil seperti LSM. LSM biasanya menunjukkan akuntabilitasnya kepada donor dan patron yang dipandang sebagai pemangku kepentingan yang paling kuat pengaruhnya—dengan alasan yang, ironisnya, mirip dengan perusahaan komersial—kemudian disusul kepada penerima manfaat dan stafnya. Yang dianggap sebagai pemangku kepentingan paling berpengaruh oleh perusahaan sosial lebih beragam, termasuk
pelanggan mereka. Selain itu, perusahaan sosial tidak membatasi akuntabilitas pada penerima manfaat semata, melainkan secara sengaja menyasar publik yang lebih luas, juga kepada pekerja dan sukarelawannya.
Mungkin sudah saatnya juga penelitian serupa dilakukan di Indonesia, agar kita tahu seperti apa akuntabilitas dari perusahaan-perusahaan sosial yang sedang menjamur di Tanah Air.
Telah dimuat di harian Kontan, 19 07 2018
Saya tulis artikel ini bersama masa Jalal – Pendiri dan Komisaris Perusahaan Sosial WISESA
Comments
Post a Comment