Seri tulisan ini telah menyatakan bahwa ada lima karakter utama bisnis sosial: didirikan untuk memecahkan masalah tertentu yang dihadapi masyarakat, khususnya kelompok rentan; memanfaatkan mekanisme pasar; menempatkan inovasi sosial sebagai jantung bisnis; memiliki proses produksi dan produk yang ramah ekonomi-sosial-lingkungan; serta melakukan reinvestasi atas majoritas keuntungan yang diperolehnya.
Selain kelima karakter utama tersebut, terdapat dua lagi karakter yang melekat pada banyak bisnis sosial. Pertama, obsesi pada perhitungan manfaat sosial dan manfaat finansial. Kedua, akuntabilitas kepada seluruh pemangku kepentingan, bukan sekadar kepada pemilik modal. Tulisan ini akan membahas karakter yang pertama itu.
Walaupun telah banyak pakar yang sebelumnya menyatakan bahwa perusahaan—yang bersifat komersial maupun sosial—perlu untuk mengukur manfaat sosial mereka, selain manfaat finansialnya, baru Jed Emerson-lah yang benar-benar memberikan landasan teoretis yang kuat atas nasehat itu. Melalui artikelnya di California Management Review No. 45/4 2003 yang bertajuk The Blended Value Proposition: Integrating Social and Financial Returns, Emerson menyatakan secara tegas bahwa kedua jenis manfaat itu bukan saja perlu dihitung dengan cermat, melainkan juga diintegrasikan ke dalam keputusan manajemen.
Manfaat sosial sendiri berarti seluruh dampak positif non-finansial yang diterima oleh pemangku kepentingan dan perusahaan. Sementara, manfaat finansial memang berupa uang, baik yang diterima secara langsung maupun tak langsung, oleh perusahaan maupun pemangku kepentingannya.
Manfaat sosial buat pemangku kepentingan sangat banyak jenisnya, dan perwujudannya berbeda antara satu pemangku kepentingan dengan yang lainnya, tergantung apa yang dilakukan oleh perusahaan bersama masing- masing pemangku kepentingan. Buat perusahaan, manfaat sosial bisa berupa
kemudahan atau bahkan dukungan operasional dari pemangku kepentingan, serta manfaat reputasional dikenal sebagai perusahaan yang baik.
Bagi perusahaan, situasi operasional yang kondusif dan tingginya reputasi jelas akan berpengaruh pada kondisi finansialnya. Sementara, bagi pemangku kepentingan, manfaat finansial bisa datang melalui peluang bisnis serta peluang kerja dengan perusahaan.
Perbedaan sangat mendasar di antara perusahaan komersial dan perusahaan sosial dalam hal ini adalah bahwa kebanyakan perusahaan komersial tidak berusaha membuat manfaat sosial secara optimal, melainkan hanya sebagai ikutan. Kemudian, perusahaan komersial juga tidak bersikeras memberikan manfaat finansial terbesar kepada pemangku kepentingannya. Perusahaan komersial juga tidak mengukur manfaat sosial seserius mereka mengukur manfaat finansial yang mereka dapatkan.
Di sisi yang lain, banyak perusahaan sosial benar-benar terobsesi untuk mengukur keduanya dalam level metodologis tertinggi. Nina Vasan dan Jennifer Przybylo menyatakan hal tersebut dalam buku mereka yang sangat terkenal, Do Good Well: Your Guide to Leadership, Action, and Innovation (2013). Lantaran tujuannya memang memecahkan masalah yang dihadapi oleh masyarakat, perusahaan sosial ingin tahu keberhasilannya dengan melakukan pengukuran manfaat sosial dari bisnisnya, juga manfaat finansial yang diperoleh pemangku kepentingan mereka. Sementara, karena majoritas dari keuntungan akan direinvestasi untuk kemaslahatan masyarakat, mereka juga sangat bersungguh- sungguh mengukur tingkat keuntungan itu. Bisnis sosial adalah pengamal teori Emerson yang paling setia.
Salah satu metodologi yang menjadi sangat popular di kalangan pebisnis sosial adalah social return on investment (SROI). Dalam SROI, seluruh pemangku kepentingan dipetakan, lalu ditanya secara mendalam manfaat apa saja yang dirasakan dari kehadiran dan operasi bisnis sosial tertentu di tempatnya. Sekali lagi, manfaatnya bisa sosial maupun finansial. Namun, seluruh manfaat sosial itu apabila mungkin juga dikuantifikasi secara finansial, sehingga bisa memberikan gambaran nyata berapa nilai dari kontribusi total sebuah bisnis sosial.
Layaknya ROI yang bisa saja menghasilkan perhitungan positif (laba) maupun negatif (rugi), demikian juga SROI. Seluruh pebisnis sosial yang menggunakan SROI harus legawa menerima kenyataan dari perhitungan SROI-nya walau
kemungkinan menunjukkan hasil yang rendah atau bahkan negatif. Buat para pebisnis sosial, tentu saja hasil yang tak begitu moncer akan disikapi sebagai tantangan untuk meningkatkan manfaat kehadiran mereka untuk masyarakat. Kabar baiknya, SROI yang dilakukan terhadap bisnis sosial biasanya menghasilkan kinerja yang jauh lebih tinggi daripada yang dilakukan terhadap bisnis komersial. Dan ini adalah alasan yang sangat bagus untuk semakin memperjuangkan transformasi menuju pengarusutamaan bisnis sosial.
Telah dimuat di harian Kontan, 15 10 2015
Saya tulis bersama mas Jalal – Pendiri dan Komisaris Perusahaan Sosial WISESA
Comments
Post a Comment