Keberpihakan



Helsinki, Finlandia, medio 2002.  Untuk lima hari, saya mengikuti sebuah pelatihan terkait Social Enterprise.  Finlandia adalah sebuah negara Skandinavia yang semula masuk dalam golongan negara terbelakang di benua Eropa.  Di Indonesia, kita mengenal negeri ini sebagai inisiator perdamaian antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka.


Survei Inisiatif Kemajuan Sosial (SPI) tahun 2016 di 133 negara di dunia, menempatkan Finlandia sebagai negara paling progresif dalam penanganan masalah-masalah sosial.  Amerika Serikat, negara yang masuk dalam jajaran ber-GDP sangat tinggi, hanya berada pada posisi 19.  Bagaimana Indonesia?  Dalam daftar itu, Indonesia berada di urutan ke 82.  Jauh di bawah Malaysia (50), Thailand (61) dan Filipina (68), tapi setidaknya masih lebih baik dari Kamboja (97), Laos (102) dan Myanmar (110).

Prestasi Finlandia bukan hanya itu.  Negeri Martti Ahtisaari itu dikenal sebagai negeri dengan kualitas terbaik di dunia.  Negeri ini juga masuk dalam jajaran negeri yang paling aman dan penduduknya memiliki level kebahagiaan yang tinggi.  Dan negeri yang pernah menjadi domisili raksasa telepon seluler Nokia ini pun masuk dalam negara-negara dengan standar hidup yang tinggi.


Pengalaman beberapa hari di negeri itu, mengajari saya arti sebuah kata : keberpihakan.  Di depan hotel tempat semua peserta diinapkan, ada beberapa toko buah-buahan segar.  Di Indonesia mungkin mirip-mirip All-Fresh, Total atau FoodHall.  Uniknya, saya melihat sebuah fenomena yang menarik.  Satu toko saya lihat diantri konsumen, sedangkan yang lainnya hanya dikunjungi beberapa orang saja.


Padahal tampilan kedua toko itu sangat kontras.  Toko yang diantri itu, sebut saja toko A, tampak biasa-biasa saja, untuk tidak menyebutnya sangat sederhana.  Penerangan ala kadarnya dan produk yang dijual tidak terlihat istimewa.  Sebaliknya, toko dengan pengunjung sedikit, toko B, justru kelihatan wah.  Tata letak dan jenis produk yang dipajang lebih menarik minat.  Apa pasal?


Tergelitik untuk mencari jawaban, saya pun sempat antri di toko A dan membeli dua butir jeruk, yang rasanya banyak asam daripada manisnya.  Di toko B saya juga membeli buah jeruk dari jenis yang berbeda.  Harganya sedikit lebih murah daripada jeruk di toko A, rasanya jauh lebih manis dan tidak ada asam-asamnya.  Dan kepala saya pun kembali berdenyut karena logika yang terbolak-balik ...


Kebingungan saya mendapat jawaban setelah saya menanyakan hal itu kepada beberapa orang yang sedang antri.  Jawabannya saya dengar sungguh heroik.  


'Kalau kami membeli di toko sebelah, para petani di luar negeri yang menanam pohon buah-buahan itu yang meningkat kesejahteraannya.  Sebaliknya, jika kami membeli di toko ini, petani-petani di negeri kami sendiri lah yang akan lebih sejahtera,' ujar salah satu dari mereka.  Bagaimana soal kualitas?


'Kualitas memang satu hal, tapi bukan segalanya.  Kita beri waktu para petani kita meningkatkan efisiensi dan kualitas produknya!' lanjutnya.  Dan tiba-tiba langit gelap.  Saya berharap ucapan itu keluar dari para konsumen di Indonesia.  Itulah keberpihakan ...


Comments