Inovasi Pembiayaan Bisnis Sosial



Dua artikel kami yang termutakhir membahas mengenai sumber dan mekanisme pembiayaan bisnis sosial. Kali ini yang akan kami bahas adalah inovasi yang terjadi dalam pembiayaan itu.  Inovasi, meminjam pendirian Clayton Christensen, berarti hal yang baru dan lebih baik.  Di banyak tempat di mana bisnis sosial telah berkembang, bentuk-bentuk pembiayaan baru dan lebih baik itu juga berkembang pesat.   

 

A New Approach to Funding Social Enterprises adalah tajuk artikel di Harvard Business Review edisi Januari – Februari 2012 yang ditulis oleh Antony Bugg-Levine, Bruce Kogut, dan Nalin Kulatilaka.  Di artikel tersebut dinyatakan bahwa yang pertama-tama sangat penting diingat adalah bahwa bisnis sosial adalah business of blended returns.  Mereka yang melibatkan diri di dalamnya memang selalu mencari manfaat sosial dan keuntungan finansial. Tak terkecuali mereka yang menyediakan pembiayaannya.

 

Salah satu inovasi pembiayaan yang kini banyak dijalankan oleh bisnis sosial adalah pooling, atau pengumpulan pendanaan dari masyarakat.  Dengan menjelaskan apa saja manfaat sosial yang hendak mereka buat dan perhitungan keuntungan finansial yang mungkin diperoleh, sebuah perusahaan sosial bisa mendapatkan modal dari individu-individu yang tertarik dengan kedua dampak bisnis itu.  Beragam tingkat risiko dan potensi keuntungan harus dikalkulasi dengan baik, sehingga bisa ditawarkan kepada para investor yang risk appetite-nya berbeda-beda. 

 

Kombinasi antara donasi dan investasi juga banyak dilakukan oleh perusahaan sosial.  Dalam contoh yang diberikan oleh Bugg-Levine dkk, misalkan sebuah perusahaan sosial ingin mendirikan sebuah rumah sakit yang terutama bisa melayani masyarakat kelas ekonomi lemah.  Rumah sakit itu bisa menelan biaya USD100.000 dan diperkirakan memberi return USD5.000 atau 5% per tahun.  Tingkat pengembalian ini tak menarik untuk kebanyakan investor.  Namun, kalau dikombinasikan dengan donasi dari donor separuh dari nilai projek, maka return untuk investor naik menjadi 10%. Sementara, donor tersebut juga diuntungkan karena donasinya menjadi bernilai lebih, lantaran bisa memberikan dampak yang sama dengan hanya separuh dari donasi yang seharusnya diberikan.

 

Ada juga jenis inovasi yang lain, yaitu yang disebut sebagai social impact bond.  Idenya adalah penerbitan bond untuk membiayai projek tertentu, misalnya infrastruktur yang bermanfaat untuk membantu petani meningkatkan kesejahteraannya.  Pemerintah, yang diuntungkan juga dari projek tersebut, bisa memberikan jaminan pengembalian yang minimal.  Namun, perusahaan sosial yang menerbitkan bond tersebut bisa memberikan tambahan keuntungan bila manfaat sosial projek itu memang minimal seperti yang diharapkan.  Pendapatan perusahaan sosial itu sendiri berasal dari perdagangan produk pertanian, yang meningkat bersama-sama dengan manfaat sosial infrastruktur itu.

 

Kalau tiga inovasi di atas dilakukan langsung antara perusahaan sosial dengan investornya, ada pula inovasi yang menggunakan perantara semacam pasar modal khusus bagi bisnis sosial. Salah satu contohnya adalah Social Capital Markets.  Lembaga ini menjadi perantara antara para pebisnis sosial dengan investor sosial, dengan jalan memberikan penilaian mendalam atas projek-projek yang diajukan para pebisnis itu dan mempertemukannya dengan investor yang dinilai paling cocok untuk projek-projek itu.                 

 

Robert Kaplan dan Allen Grossman dalam artikel The Emerging Capital Market for Nonprofits yang terbit di Harvard Business Review edisi Oktober 2010 mengemukakan perubahan fundamental yang harus dilakukan bila inovasi-inovasi pembiayaan itu ingin berhasil.  Menurut kedua pakar, transparensi dalam pengukuran, pemantauan dan evaluasi, serta pelaporan adalah kuncinya.  

 

Kalau selama ini perusahaan-perusahaan komersial sangat menekankan pada kinerja finansial, dan organisasi masyarakat sipil sangat bersikeras menonjolkan manfaat sosial setiap projek yang dikerjakannya, inovasi pembiayaan bisnis sosial mensyaratkan transparensi pada keduanya.  Oleh karena itu, perkembangan bisnis sosial ini dipastikan akan mendorong transparensi perusahaan-perusahaan, menjadi penguat gerakan pelaporan berkelanjutan dan pelaporan terpadu.  

 

Namun demikian, yang menjadi tujuan akhir tentu saja bukanlah transparensi itu, dan bukan pula sekadar pembiayaan yang inovatif.  Modal yang dikumpulkan oleh perusahaan-perusahaan sosial adalah sumberdaya yang dipergunakan untuk memecahkan masalah keberlanjutan ekonomi, sosial dan lingkungan yang dihadapi masyarakat.  Pada akhirnya, para penerima manfaat itulah yang menjadi saksi apakah memang dengan inovasi pembiayaan itu beragam masalah bisa terselesaikan, dan keberlanjutan Bumi dan segala isinya bisa diwujudkan.         

 

Telah dimuat di harian Kontan, 14 11 2015


 

Saya tulis artikel ini bersama mas Jalal – Pendiri dan Komisaris Perusahaan Sosial WISESA 

Comments